Jumat, 15 Juni 2012

Manuver sang orientalis


Pemikiran Snouck menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”. Berdasarkan konsep ini (yakni menjauhkan agama dari politik), Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam.

Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis kebijakan “Inlandsch Politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini. 

Snouck lahir tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout Belanda, merupakan anak keempat dari pasangan Pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna Maria. Nama depannya diambilkan dari nama kakeknya, pendeta D Christiaan de Visser. Pada tahun 1874 selepas dari pendidikan HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas Teologi Universitas Leiden. Tahun 1878 ia lulus kandidat examen (sarjana muda) kemudian ia meneruskan ke Fakultas Sastra Universitas Leiden. Semasa di Universitas Leiden, Snouck dibimbing oleh para tokoh aliran “modernis Leiden”, seperti CP Tieles, LWE Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de Goeje.

Aliran pemikiran “modernis Leiden” ini berpandangan liberal dan rasional. Dalam aliran pemikiran ini, agama hanyalah sekedar kesadaran etis yang ada pada setiap manusia dan budaya Eropa memiliki superioritas kebudayaan sehingga interaksi antara agama Kristen dengan budaya Eropa adalah proses puncak perkembangan kebudayaan, sedangkan kebudayaan lain –Islam dan budaya dunia Timur- merupakan suatu bentuk “degenerasi” kebudayaan.

Dari Abraham Kuenen –ahli perjanjian lama- Snouck mendapat pelajaran tentang Kritik Biblik / Kritik Kitab Suci. Hal itu mendasari pemikirannya dalam menolak hal-hal yang irasional dalam agama yang dianutnya –Kristen- seperti Trinitas dan kedudukan Yesus sebagai Anak Allah. Disamping itu ia juga belajar bahasa dan sastra Arab dari RPA Dozi dan MJ de Goeje.

Snouck menyelesaikan pendidikan formalnya pada tahun 1880 dengan disertasi berjudul Het Mekkaansche Feest yang membahas tentang Ibadah Haji. Kemudian ia mengajar di “Leiden & Delf Academi”, tempat dimana semua calon pejabat pemerintah kolonial Belanda dididik dan dilatih sebelum mereka dikirim berdinas di Hindia Belanda.

Tahun 1884 -atas prakarsa JA Kruyt Konsul Belanda di Jeddah- Snouck dikirim ke Makkah untk melakukan penelitian tentang Islam. Untuk mendapatkan ijin tinggal di Makkah, Snouck mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar, ia juga mengerjakan Shalat dan ritual agama Islam lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck dapat mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari umat Muslim di Makkah serta dengan mudah bergaul erat dengan para pelajar dan ulama, terutama yang berasal dari Hindia Belanda.

Dalam penelitiannya tersebut, Snouck memusatkan perhatiannya pada tiga hal. Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan. Kedua, apa arti Islam didalam kehidupan sehari-hari dari pengikut-pengikutnya yang beriman. Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk mengajak orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban yang universal.

Snouck tahun 1889 dipindah tugaskan ke Hindia Belanda, oleh Gubernur Jenderal Pijnacker Herdijk, ia diangkat sebagai peneliti dan penasehat urusan bahasa-bahasa timur dan Islam. Guna memuluskan tugasnya dan memperkuat penerimaan masyarakat, Snouck mengawini wanita Muslim Pribumi secara Islam. Snouck melangsungkan perkawinannya dengan Sangkana, anak tunggal Raden Haji Muhammad Ta’ib, Penghulu Besar Ciamis. Dari perkawinannya itu terlahir empat orang anak, Salmah, Umar, Aminah, Ibrahim. Pada tahun 1895, Sangkana meninggal dunia, kemudian tahun 1898 Snouck mengawini Siti Sadiyah, putri Haji Muhammad Soe’eb, Wakil Penghulu kota Bandung. Pada tahun 1910 Snouck melangsungkan pernikahan dengan Ida Maria, putri Dr.AJ Oort, pendeta liberal di Zutphen, perkawinannya yang ketiga ini dilangsungkan di negeri Belanda.

Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”.

Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Hirarkis” dan “Universal”. Disamping itu karena tidak ada lapisan “Klerikal” atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Qur’an dan Al-Hadits -dalam beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.

Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.

Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang Agama Murni, bidang Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.

Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial masyarakatan dan politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.

Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata.

Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.

Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.

Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie Resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam

menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.

Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep “Devide et Impera” dengan memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama karena ke-Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintah kolonial Belanda.

Kelompok ini dengan didukung oleh konsep “Politik Asosiasi” melalui program jalur pendidikan, harus dijauhkan dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam orbit “Wearwenization”. Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang diper-Barat-kan. Oleh karena itu orang-orang Belanda harus mengajari dan menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.

Kaum pribumi yang telah mendapat pendidikan bercorak barat dan telah terasosiasikan dengan kebudayaan Eropa, harus diberi kedudukan sebagai pengelola urusan politik dan administrasi setempa. Mereka secara berangsur-angsur akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi.

Secara tidak langsung, asisiasi ini juga bermanfaat bagi penyebarab agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi. Hal itu dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara kebudayaan Eropa dan kebudayaan pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang dipelopori oleh kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.

Pemerintah kolonial harus menjaga agar proses transformasi asosiasi kebudayaan ini seiring dengan evolusi sosial yang berkembang dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan sampai hegemoni pengaruh dimasyarakat beralih kepada kelompok yang menentang program peng-asosiasi-an budaya ini. Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli waris hasil budaya asosiasi hasil didikan sistem barat. Akhirnya Indonesia akan diperintah oleh pribumi yang telah ber-asosiasi dengan kebudayaan Eropa.

Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga tak seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Namun setidaknya selama itu telah mampu meredam dan mengurangi aksi politik yang digerakkan oleh umat Islam. Pada akhirnya, umat Islam pula yang menjadi motor penggerak gerakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon Zending di Oestgeest.

Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, di usianya yang ke 81 tahun.

Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah ilmuwan yang dijuluki ‘dewa” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelopor penelitian tentang Islam, Lembaga-Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia “berjasa” menunjukkan “kekurangan-kekurangan” dalam dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di Rapenburg didirikan monumen “Snouck Hurgronjehuis” untuk mengenang jasa-jasanya dan kebesarannya.

sumber dari :
Strategi Belanda Melumpuhkan Islam
Biografi C. Snouck Hurgronje
Lathiful Khuluq
Pustaka Pelajar