photo from google |
Seratus enam tahun berlalu setelah
kelahiran salah satu tokoh Islam Sayyid Quthb. Tokoh kelahiran 9 Oktober
1906 itu adalah penulis kitab monumental “Fii Zhilaal Al-Qur`an”,
“Ma’aalim fi Thariiq” dan “Al-Mustaqbal li haadzaa Ad Diin”. Tiga buku
itu semuanya sudah diterjemahkan dengan bahasa Indonesia oleh sejumlah
penerbit. Dan ketiga buku itu juga mendapat pasar yang luas di kalangan
Muslim Dunia.
Memang ada perdebatan tentang metode
berpikir Sayyid Qutb dalam tulisan-tulisannya yang tegas menyatakan
kejahiliyahan masyarakat modern terkait keharusan hakimiyah
(penghakiman) yang tidak merujuk kepada Allah swt. Tapi bagaimanapun,
peri hidup Sayyid Qutb tetaplah penting diulas sebagai bagian dari
perjalanan seorang yang rela mengorbankan dirinya untuk membela tauhid
yang diyakini kebenarannya.
Sepintas Kehidupan Sayyid Qutb Sayyid
Quthb gugur di tiang gantungan pada tanggal 20 Agustus 1966. Ia dikenal
sebagai tokoh yang totalitas berjuang untuk agamanya, menyerahkan
seluruh hidupnya untuk Allah, seorang mukmin yang begitu kuat
keyakinannya. Ia persembahkan nyawanya yang ‘murah’ kepada keyakinan dan
akidahnya. Ia lewati bertahun tahun usia terakhirnya di penjara. Ia
tuangkan jiwa dan pikirannya yang luar biasa dalam lembar-lembar tulisan
tangannya dengan untaian kata yang penuh makna dan bernilai sastra.
Hampir semua orang yang membacanya, bisa merasakan getar ruhani dan
pikirannya dari bunyi tulisan penanya yang tercantum hebat dalam
karya-karya tulisnya.
Sayyid Qutb mendapat pendidikan pertama
di rumah dari orang tua yang kuat beragama. Usia 6 tahun, Qutb diantar
ke sekolah rendah di kampungnya, Assiyut. Dan pada usia 7 tahun ia mulai
menghafal Al-Qur’an. Dalam tiga tahun berikutnya, ia telah menghafal
seluruh Al-Qur`an.
Awal dekade 1940-an, satu era baru telah
mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan
kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis
beberapa seri “At-Taswir Fanni Fil Qur’an” pada tahun 1939. Tulisan ini
mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada
tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk “Masyahidul Qiamah Fil
Qur’an” yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an.
Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku berjudul
“Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam” atau Keadilan Sosial dalam Islam.
Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati
hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.
Fase terakhir perjalanan Sayyid Qutb
berawal pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan Jama’ah
Al-Ikhwan Al-Muslimun, sampai tahun wafatnya di tiang gantungan tahun
1966. Baginya, rentang masa itu sangat penting dan karenanya ia pernah
mengatakan bahw tahun 1951 adalah tahun kelahirannya. Sayyid Qutb
bergabung bersama Al-Ikhwan Al-Muslmun, dua tahun selah wafatnya Imam
Hassan al-Banna yang merupakan pendiri Al-Ikhwan, pada tahun 1949.
Mereka tidak pernah bertemu muka, meski dilahirkan di tahun yang sama
1906, dan dididik di tempat yang sama, di Darul Ulum.
Namun di antara mereka mempunyai kesatuan
jiwa dan kesamaan orientasi berpikir. Sebelumnya, ketika Hasan Al-Banna
membaca buku “Al-’Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam”, karangan Sayyid
Qutb, ia menganggap pengarangnya adalah bagian dari Al-Ikhwan. Lalu,
al-Banna telah mengatakan bahwa “orang ini” (Sayyid Qutb) tidak lama
lagi akan bergabung bersama Al-Ikhwan.
Sayyid Qutb juga mempunyai perasaan yang
sama terhadap Hassan Al-Banna. Kematian Al-Banna sangat membekas dalam
jiwanya, meski ia belum pernah bersama dengan Al-Banna. Berita kematian
Al-Banna diterimanya dengan perasaan tragis saat ia dirawat di sebuah
rumah sakit di Amerika. Karena orang-orang Amerika bergembira menyambut
berita kematian Al-Banna. Pulang dari AS, Sayyid Qutb mengkaji kehidupan
Al-Banna dan membaca seluruh risalah karangannya. Selanjutnya ia pun
memutuskan untuk memikul amanah perjuangan Hassan al-Banna.
Beberapa karya Sayyid Qutb selanjutnya
adalah: Haaza ad Din, Al-Musta qbal li hadza ad diin, khashaish
tashawwur al-Islami, ma’alim fi thariq, dan tafsir fii zilali al-Qur`an.
Pesan utama yang ditekankan Qutb di dalam tulisan-tulisannya adalah
konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid
Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri’
(pembuatan peraturan). Dan karenanya, menurut Qutb ikrar Lailaha ilalLah
adalah pernyataan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di
atas muka bumi Nya. Maka seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada
hakNya.
Pada13 Januari 1954, Revolusi Mesir
melarang Al-Ikhwan Al-Muslimun dan para pimpinannya ditangkap karena
dituduh sedang kudeta. Tanpa bukti yang jelas, tujuh orang pimpinan
tertinggi Al-Ikhwan dijatuhi hukuman mati, termasuk Hasan Hudhaibi,
Abdul Qadir Audah dan Syeikh Muhammad Farghali, ketua sukarelawan
Mujahidin Ikhwan al-Muslimin di dalam Perang Suez 1948. Tapi hukuman
terhadap Hasan Hudhaibi dirubah menjadi penjara seumur hidup dan Sayyid
Qutb dihukum penjara lima belas tahun dengan kerja berat.
Pada tahun 1964, Sayyid Qutb telah
dibebaskan atas permintaan pribadi Abdul Salam Arif, Presiden Iraq. Tapi
Pemerintahan Revolusi Mesir belum menerima pembebasan tersebut. Setelah
Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam satu musibah pesawat udara,
Qutb ditangkap lagi pada tahun berikutnya. Alasannya adalah karena Qutb
dituduh kembali merancang kudeta. Selain itu, Mahkamah Revolusi merujuk
pada buku-buku Sayyid Quthb terutama Maalim Fi At Thariiq, yang
mendasari pernyataan seruan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang
tidak berdasarkan Syari’at Allah.
Sayyid Qutb ditahan bersama seluruh
anggota keluarganya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden
Naser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden
Naser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia
dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; “Telunjuk yang
bersyahadah setiap kali dalam shalat menegaskan bahwa Tiada Ilah yang
disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhamad adalah
Rasulullah, dan aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku
dipenjara karena kebenaran aku ridha. Jika aku dipenjara secara batil,
aku tidak akan menuntut rahmat daripada kebatilan. ”
Pagi hari Senin, 29 Agustus 1966, Sayyid
Qutb digantung bersama-sama sahabat seperjuangannya, Muhamad Yusuf
Hawwash dan Abdul Fatah Ismail. Dunia Islampun kehilangan salah satu
pejuangnya yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela tauhid.
(Lili Nur Aulia)