Sebentar saja kawan, merenunglah
sejenak untuk hidupmu seluruhnya. Sejenak. Berapa banyak realita
perubahan yang prosesnya hanya dalam hitungan detik.
Titik tolak perubahan. Titik yang menjungkirbalikkan tatanan 'biasa' dalam hidupmu. Kenapa harus luar biasa?. Karena kebiasaan telah rusak. Dan orang normal pun dianggap gila. Bukankah zaman telah berada diujung jurang?. Prediksi Rasul pun telah banyak terpampang?.
Zaman terlalu lembut menggiring. Membiasakan kondisinya pada setiap generasi. Ikan di kolam mengatakan, 'inilah laut'. Sebab, itulah yang mereka lihat sejak pertama kali membuka mata. Sayang mereka tak pernah baca sejarah. Sejarah 'generasi laut' yang sesungguhnya. Generasi yang merdeka dengan fitrahnya. Bukan generasi 'macan sirkus' yang tak kenal hutan dan tak sanggup menerkam mangsa.
Mengkritisi hidup kita. Atau muhasabah yang lebih mendasar. Bukan sekedar tataran amal. Tapi pola hidup dan standart nilai.
Sekolah, kuliyah, kerja, menikah, berkeluarga kemudian tua. Sebatas jadi pelengkap tatanan 'biasa'. Inilah hidup gila yang dianggap normal. Pola hidup 'gila hidup'. Sebatas perut dan sejengkal kebawah. Asal kenyang dan senang. Persetan dengan ummat, dakwah apalagi jihad. Terlalu jauh itu semua. Sedangkan pada surga pun tak berhasrat. Bagaimana mau peduli jalan?, kepada tujuan pun tak berkeinginan.
Cerdaskan irodahmu kawan. Kenali tugas. Kita tak hidup tanpa tujuan. Kita pun punya pijakan. Maka kenalilah tujuan, lalu siapkanlah jalan.
Menimbang posisi ummat. Yang dulu mengatur. Kini diatur. Dulu menarik jizyah. Kini membayar pajak. Bukankah ini penjajahan?. Jika tidak melawan memang terasa aman. Aman dibawah stabilitas penjajah. Rasa yang mati tak lagi peka dengan kehinaan ini. Bahkan sekalipun dihadapkan pada gelimpangan mayat di Ghaza. Mungkin hanya menghasilkan kasihan dan kutuk. Sebatas persoalan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Tak sadar bahwa itu adalah deklarasi perang kepada diri dan agamanya.
Dengan semua itu. Masih saja kita hidup 'biasa'. Tak menganggap itu tugas dan tanggung jawab. Tak sedikitpun merubah pola hidup kita. Hanya sisipan pada kegiatan-kegiatan sosial, pengajian atau seminar. Kemudian tenggelam lagi dalam kesibukan 'biasa'. Seberapa kuatkah kita berpegang pada standart dan pola hidup macam ini? Hingga mampu melupakan tanggung jawab yang turun dari langit ketujuh.
Dengan semua itu. Masih saja kita berbangga dengan piala-piala perlombaan. Atau ranking kelas, ip kuliyah, dan lain-lain penghargaan dari pola hidup 'biasa'. Budaya pamer yang menjadi standart kesuksesan. Bahkan para "da'i" pun ikut kontes permainan ini. Sekali lagi, bagaimana ini semua sanggup melupakan tanggung jawab yang turun dari langit ketujuh?. Atau beginikah "jihad" yang diteriakkan dalam slogan-slogan pergerakan sebagai jalan hidup itu?. Inilah relita. Jika kata Ibnul Mubarak, ibadah "'aabidal haromain" adalah main-main, maka hidup macam ini adalah kehidupan main-main.
Bersungguh-sungguh dalam perjuangan, dengan meninggalkan pola hidup 'biasa' tentu akan mengantarkan kita pada berbagai resiko. Namun inilah kemulian. Jika anda masih menghargai umur. Lihatlah al-Khansa yang membesarkan empat putranya selama bertahun-tahun, hanya untuk suatu hari di medan Qodisiyah, hari keberhasilan jerih payahnya. Atau teriakan seorang qori' utusan Rasulullah ketika tertebas pedang musuh yang menyebabkannya syahid, "fuztu wa rabbil ka'bah!!" (aku telah menang demi Rabb-nya Ka'bah). Inilah kesuksesan yang tidak dimengerti oleh generasi "ikan kolam".
Lihatlah bagaimana kehidupan generasi Rasulullah dan para sahabat yang dipenuhi dengan peperangan. Bahkan Rasulullah memerintahkan untuk mendidik anak-anak dengan memanah dan berkuda. Sebagai pembekalan ketrampilan perang. Sebab itulah jalan yang akan ditempuh ketika dewasa kelak. Kehidupan yang tidak jauh dari pedang dan tombak. Inilah pola hidup yang tak dimengerti oleh generasi "macan sirkus".
Titik tolak perubahan. Titik yang menjungkirbalikkan tatanan 'biasa' dalam hidupmu. Kenapa harus luar biasa?. Karena kebiasaan telah rusak. Dan orang normal pun dianggap gila. Bukankah zaman telah berada diujung jurang?. Prediksi Rasul pun telah banyak terpampang?.
Zaman terlalu lembut menggiring. Membiasakan kondisinya pada setiap generasi. Ikan di kolam mengatakan, 'inilah laut'. Sebab, itulah yang mereka lihat sejak pertama kali membuka mata. Sayang mereka tak pernah baca sejarah. Sejarah 'generasi laut' yang sesungguhnya. Generasi yang merdeka dengan fitrahnya. Bukan generasi 'macan sirkus' yang tak kenal hutan dan tak sanggup menerkam mangsa.
Mengkritisi hidup kita. Atau muhasabah yang lebih mendasar. Bukan sekedar tataran amal. Tapi pola hidup dan standart nilai.
Sekolah, kuliyah, kerja, menikah, berkeluarga kemudian tua. Sebatas jadi pelengkap tatanan 'biasa'. Inilah hidup gila yang dianggap normal. Pola hidup 'gila hidup'. Sebatas perut dan sejengkal kebawah. Asal kenyang dan senang. Persetan dengan ummat, dakwah apalagi jihad. Terlalu jauh itu semua. Sedangkan pada surga pun tak berhasrat. Bagaimana mau peduli jalan?, kepada tujuan pun tak berkeinginan.
Cerdaskan irodahmu kawan. Kenali tugas. Kita tak hidup tanpa tujuan. Kita pun punya pijakan. Maka kenalilah tujuan, lalu siapkanlah jalan.
Menimbang posisi ummat. Yang dulu mengatur. Kini diatur. Dulu menarik jizyah. Kini membayar pajak. Bukankah ini penjajahan?. Jika tidak melawan memang terasa aman. Aman dibawah stabilitas penjajah. Rasa yang mati tak lagi peka dengan kehinaan ini. Bahkan sekalipun dihadapkan pada gelimpangan mayat di Ghaza. Mungkin hanya menghasilkan kasihan dan kutuk. Sebatas persoalan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Tak sadar bahwa itu adalah deklarasi perang kepada diri dan agamanya.
Dengan semua itu. Masih saja kita hidup 'biasa'. Tak menganggap itu tugas dan tanggung jawab. Tak sedikitpun merubah pola hidup kita. Hanya sisipan pada kegiatan-kegiatan sosial, pengajian atau seminar. Kemudian tenggelam lagi dalam kesibukan 'biasa'. Seberapa kuatkah kita berpegang pada standart dan pola hidup macam ini? Hingga mampu melupakan tanggung jawab yang turun dari langit ketujuh.
Dengan semua itu. Masih saja kita berbangga dengan piala-piala perlombaan. Atau ranking kelas, ip kuliyah, dan lain-lain penghargaan dari pola hidup 'biasa'. Budaya pamer yang menjadi standart kesuksesan. Bahkan para "da'i" pun ikut kontes permainan ini. Sekali lagi, bagaimana ini semua sanggup melupakan tanggung jawab yang turun dari langit ketujuh?. Atau beginikah "jihad" yang diteriakkan dalam slogan-slogan pergerakan sebagai jalan hidup itu?. Inilah relita. Jika kata Ibnul Mubarak, ibadah "'aabidal haromain" adalah main-main, maka hidup macam ini adalah kehidupan main-main.
Bersungguh-sungguh dalam perjuangan, dengan meninggalkan pola hidup 'biasa' tentu akan mengantarkan kita pada berbagai resiko. Namun inilah kemulian. Jika anda masih menghargai umur. Lihatlah al-Khansa yang membesarkan empat putranya selama bertahun-tahun, hanya untuk suatu hari di medan Qodisiyah, hari keberhasilan jerih payahnya. Atau teriakan seorang qori' utusan Rasulullah ketika tertebas pedang musuh yang menyebabkannya syahid, "fuztu wa rabbil ka'bah!!" (aku telah menang demi Rabb-nya Ka'bah). Inilah kesuksesan yang tidak dimengerti oleh generasi "ikan kolam".
Lihatlah bagaimana kehidupan generasi Rasulullah dan para sahabat yang dipenuhi dengan peperangan. Bahkan Rasulullah memerintahkan untuk mendidik anak-anak dengan memanah dan berkuda. Sebagai pembekalan ketrampilan perang. Sebab itulah jalan yang akan ditempuh ketika dewasa kelak. Kehidupan yang tidak jauh dari pedang dan tombak. Inilah pola hidup yang tak dimengerti oleh generasi "macan sirkus".
*Tsabbit Qolby (Shoutussalam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar