Rabu, 14 Maret 2012

Satu Jiwa Merubah Negara!

”Kembali kesini, kami jamin kalian berdua selamat” teriak pasukan khusus Abbasiyyah di tepi sungi Eufrat. Kemudian adik Abdurrahman bin Mu’awiyyah terpedaya dan segera kembali. Abdurrahman berusaha melarang, ”mereka akan membunuhmu”. Ternyata benar, sesampainya di tepi, anak 13 tahun itu segera ditarik, dan dieksekusi di depan mata kakaknya sendiri. Berat benar di hati dan jiwa melihatnya, tapi ini bukan saatnya sedih meratapi. Keturunan terakhir Daulah Umawiyyah tidak boleh punah di sungai ini.

Di usianya yang 19, ia terus berlari, seorang diri, dari pengejaran daulah baru Abbasiyyah. Menuju Hijaz, Mesir, Libya selama 5 tahun dalam kesunyian dan pengasingan hingga akhirnya sampai di Kairowan. Tapi disana revolusi Khawarij sedang panas, dan kepala putra mahkota Umawiyyah tetap diincar. Dalam kondisi keamanan yang kritis, ia tetap berfikir. Hidup dalam kesunyian dan persembunyian, atau kembali merebut piala sejarah?
 
Darah mudanya tidak destruktif  tapi konstruktif. Ide besarnya mulai di rekonstruksi, ia mempunyai mimpi dan obsesi. Dari kesendirian menuju peradaban. Satu jiwa merubah negara. Ia melarikan diri ke negeri Andalus yang sedang sekarat menunggu kematiannya. Ibermanuver mencari rekan dan massa. Berlalu waktu hingga hati-hati manusia berkumpul dalam hati satu orang pemuda. Rancangan besar Abdurrahman terwujud bahkan 34 tahun memimpin Andalus. Ia mencetak tentara tanpa tara, membangun benteng, pemukiman, dan kesenian, meredam pemberontakan, dan menyelesaikan kerusuhan, dan yang paling utama: ia meletakan dasar peradaban baru, yaitu Daulah Umawiyyah yang sebanding dengan keagungan Daulah Abbasiyyah di Baghdad.

Abdurrahman bin Muawiyyah adalah contoh kecil ketika satu orang pemuda bisa merubah satu negara, saat di zaman ini seratus pemuda boleh jadi tidak mampu membersihkan jalan-jalan komplek rumahnya. Satu orang pemuda bisa merubah satu umat, tapi seribu pemuda boleh jadi bingung dengan apa yang harus dikerjakan esok harinya.

Inilah permasalahan utama pemuda zaman ini. Tidak menyadari peluang kerja besar yang mungkin ia produksi di usia mudanya. Sebagian beralasan karena terlalu mudanya usia. Tidakkah mereka melihat sejarah bahwa Sa’ad bin Abî Waqqâsh memulai menghadapi kerasnya tirani kafir Quraish di usia 17 tahun atau seperti 16 tahunnya Thalhah bin ’Ubaidillâh, atau 15 tahunnya az-Zubair bin al-’Awwâm, atau 13 tahunnya Zaid bin Tsâbit, bahkan 10 tahunnya ’Ali bin Abî Thâlib.

Lalu bagaimana dengan skala aktivitas remaja SMP dan SMA usia 13-19 zaman ini, atau mahasiswa usia 20-30 tahun? Apa pikiran-pikiran yang memenuhi otak pemuda zaman ini? Apa mimpi-mimpi yang menemani tidur hangatnya? apa harapan-harapan yang melenakan waktu istirahatnya?

Yakinlah! Semua kualifikasi dasar yang dimiliki satu orang di lima abad atau lima belas abad lalu sama persis dengan apa yang dimiliki pemuda zaman ini. Tapi mengapa produk perubahan mereka berbeda?

Perubahan adalah hasil kapasitas. Dan inilah pembedanya. Kapasitas itu bisa direkayasa dan dibangun. Ia dibangun oleh jauhnya pandangan (Nazhrah Ba’îdah) dan kekuatan obsesi (Thumûh).

Seperti para pemuda penggerak revolusi. Saat selimut kezaliman menutupi badan masyarakat Mesir selama tiga dekade, tidak semua mampu melihat jalan keluar, dan tidak semua mampu membuat langkah pertama. Bahkan sebagian besar pemuda tenggelam dalam kehangatannya, lalu menghabiskan usia muda dalam rentetan agenda ceria tanpa makna di cafe dan sepanjang nil atau trotoar jalan Alexandria. Hingga tiba badai perubahan yang ditiupkan para pemuda pada 25 Januari yang melihat masa depan, para pemuda yang merencanakan aksi turun kejalan. Merekalah, mahasiswa dan para pemuda pemilik ide besar yang memulai, sehingga sisanya hanya tinggal menjadi pengikut dan pelanjut.

Seperti itu tabiat perubahan, tidak perlu dimulai oleh seribu, tapi satu atau dua jiwa yang memulai dari diri mereka sendiri, dari pikiran-pikiran dan pandangannya. Dan Allah sudah menegaskan prinsip perubahan ini “Inna Allaha lâ yughayyiru mâ biqaumin hattâ yughayyirû mâ bi anfusihim”.

Kerja-kerja besar sepanjang sejarah bukan hasil angan-angan generasi tua, tapi dirancang dan dieksekusi di usia muda. Tidak perlu memulai dari seribu jiwa, tapi dari satu jiwa. Jiwa yang terkuat, jiwa yang menyadari keluasan sejarah dan kedalaman tarbiyyah agamanya. Yang umat tunggu adalah para pemuda, yang satu jiwanya mampu merubah negaranya. InsyaAllah.

 *Muhammad Elvandi
(seorang sahabat dengan tulisan yg sangat inspiratif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar