”Kembali kesini, kami jamin kalian berdua selamat” teriak
pasukan khusus Abbasiyyah di tepi sungi Eufrat. Kemudian adik Abdurrahman bin
Mu’awiyyah terpedaya dan segera kembali. Abdurrahman berusaha melarang, ”mereka
akan membunuhmu”. Ternyata benar, sesampainya di tepi, anak 13 tahun itu segera
ditarik, dan dieksekusi di depan mata kakaknya sendiri. Berat benar di hati dan
jiwa melihatnya, tapi ini bukan saatnya sedih meratapi. Keturunan terakhir
Daulah Umawiyyah tidak boleh punah di sungai ini.
Di usianya yang 19, ia terus berlari, seorang diri, dari
pengejaran daulah baru Abbasiyyah. Menuju Hijaz, Mesir, Libya selama 5 tahun
dalam kesunyian dan pengasingan hingga akhirnya sampai di Kairowan. Tapi disana
revolusi Khawarij sedang panas, dan kepala putra mahkota Umawiyyah tetap
diincar. Dalam kondisi keamanan yang kritis, ia tetap berfikir. Hidup dalam
kesunyian dan persembunyian, atau kembali merebut piala sejarah?
Darah mudanya tidak destruktif tapi konstruktif. Ide besarnya mulai di
rekonstruksi, ia mempunyai mimpi dan obsesi. Dari kesendirian menuju peradaban.
Satu jiwa merubah negara. Ia melarikan diri ke negeri Andalus yang sedang
sekarat menunggu kematiannya. Ibermanuver mencari rekan dan massa. Berlalu
waktu hingga hati-hati manusia berkumpul dalam hati satu orang pemuda.
Rancangan besar Abdurrahman terwujud bahkan 34 tahun memimpin Andalus. Ia
mencetak tentara tanpa tara, membangun benteng, pemukiman, dan kesenian,
meredam pemberontakan, dan menyelesaikan kerusuhan, dan yang paling utama: ia
meletakan dasar peradaban baru, yaitu Daulah Umawiyyah yang sebanding dengan
keagungan Daulah Abbasiyyah di Baghdad.
Abdurrahman bin Muawiyyah adalah contoh kecil ketika satu
orang pemuda bisa merubah satu negara, saat di zaman ini seratus pemuda boleh
jadi tidak mampu membersihkan jalan-jalan komplek rumahnya. Satu orang pemuda
bisa merubah satu umat, tapi seribu pemuda boleh jadi bingung dengan apa yang
harus dikerjakan esok harinya.
Inilah permasalahan utama pemuda zaman ini. Tidak menyadari
peluang kerja besar yang mungkin ia produksi di usia mudanya. Sebagian
beralasan karena terlalu mudanya usia. Tidakkah mereka melihat sejarah bahwa
Sa’ad bin Abî Waqqâsh memulai menghadapi kerasnya tirani kafir Quraish di usia
17 tahun atau seperti 16 tahunnya Thalhah bin ’Ubaidillâh, atau 15 tahunnya
az-Zubair bin al-’Awwâm, atau 13 tahunnya Zaid bin Tsâbit, bahkan 10 tahunnya
’Ali bin Abî Thâlib.
Lalu bagaimana dengan skala aktivitas remaja SMP dan SMA
usia 13-19 zaman ini, atau mahasiswa usia 20-30 tahun? Apa pikiran-pikiran yang
memenuhi otak pemuda zaman ini? Apa mimpi-mimpi yang menemani tidur hangatnya?
apa harapan-harapan yang melenakan waktu istirahatnya?
Yakinlah! Semua kualifikasi dasar yang dimiliki satu orang
di lima abad atau lima belas abad lalu sama persis dengan apa yang dimiliki
pemuda zaman ini. Tapi mengapa produk perubahan mereka berbeda?
Perubahan adalah hasil kapasitas. Dan inilah pembedanya.
Kapasitas itu bisa direkayasa dan dibangun. Ia dibangun oleh jauhnya pandangan
(Nazhrah Ba’îdah) dan kekuatan obsesi (Thumûh).
Seperti para pemuda penggerak revolusi. Saat selimut
kezaliman menutupi badan masyarakat Mesir selama tiga dekade, tidak semua mampu
melihat jalan keluar, dan tidak semua mampu membuat langkah pertama. Bahkan
sebagian besar pemuda tenggelam dalam kehangatannya, lalu menghabiskan usia
muda dalam rentetan agenda ceria tanpa makna di cafe dan sepanjang nil atau
trotoar jalan Alexandria. Hingga tiba badai perubahan yang ditiupkan para
pemuda pada 25 Januari yang melihat masa depan, para pemuda yang merencanakan
aksi turun kejalan. Merekalah, mahasiswa dan para pemuda pemilik ide besar yang
memulai, sehingga sisanya hanya tinggal menjadi pengikut dan pelanjut.
Seperti itu tabiat perubahan, tidak perlu dimulai oleh
seribu, tapi satu atau dua jiwa yang memulai dari diri mereka sendiri, dari
pikiran-pikiran dan pandangannya. Dan Allah sudah menegaskan prinsip perubahan
ini “Inna Allaha lâ yughayyiru mâ biqaumin hattâ yughayyirû mâ bi anfusihim”.
Kerja-kerja besar sepanjang sejarah bukan hasil angan-angan
generasi tua, tapi dirancang dan dieksekusi di usia muda. Tidak perlu memulai
dari seribu jiwa, tapi dari satu jiwa. Jiwa yang terkuat, jiwa yang menyadari
keluasan sejarah dan kedalaman tarbiyyah agamanya. Yang umat tunggu adalah para
pemuda, yang satu jiwanya mampu merubah negaranya. InsyaAllah.
*Muhammad Elvandi
(seorang sahabat dengan tulisan yg sangat inspiratif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar