Jumat, 16 Maret 2012

HAM vs HSM

Siapapun yang mengklaim bahwa kepentingan manusia –menurut pendapatnya- tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, maka sedikitpun ia tidak berada dalam agama ini dan tidak pula termasuk pemeluknya.” [Sayyid Quthb]


Jika bahasa Sanskerta mengurai makna agama sebagai gabungan dari kata A dan Gama yang berarti “tidak kacau”, -terlepas dari benar tidaknya definisi tersebut- maka adakah saat ini aturan yang mengacaukan agama itu sendiri? Jawabannya, ada. Celakanya, konsep itu dekat dengan bahasa keseharian kita, bahkan mungkin sudah mendarah daging dengan pemahaman kita, sehingga ketika saya usik dengan tulisan ini, akan ada yang mengerut, mengerjut.

Apa yang saya maksudkan di atas adalah konsep Hak Asasi Manusia, atau yang peka di telinga kita dengan istilah HAM, sebuah konsep yang seringkali diacung-acungkan untuk membela hak kemanusiaan, yang tak jarang perannya dimaknai lebih tinggi daripada hak ketuhanan.

Masih membekas dalam ingatan kita, ketika ramai-ramai kelompok Liberal dengan gaya Macho alias -sorry- “maju chochote” berada di garda depan untuk membela aliran-aliran menyimpang dalam Islam. Umumnya, dalam pembelaan itu mereka menjadikan otoritas pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), untuk dijadikan bemper membebaskan penafsiran keagamaan. Alhasil, malaikat Jibril versi parodi yang digagas oleh Lia Eden pun dianggap berhak menjalankan dan menyebarkan ajarannya, begitu juga jemaat Ahmadiyah dan seterusnya. Bahkan tidak luput persoalan homoseksual dan lesbian, yang kemudian muncul mujtahid abal-abal mahasiswa Fakultas Syariah di Semarang dengan menerbitkan jurnal bertemakan: Indahnya Kawin Sesama Jenis.

Manusia semacam itu, barangkali mengira Allah Swt kurang mengerti kepentingan manusia, sehingga ketika Allah membuat aturan, boleh jadi melanggar hak-hak makhluk yang diciptakan-Nya sendiri! Dan jika benar demikian, artinya mereka secara eksplisit telah menuduh lugu Allah Swt ketika melontarkan sebuah pertanyaan dalam kitab suci-Nya, Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)…?” [Al-Mulk, 14]

Adapun jika masih ada orang yang –terlebih mengaku Muslim- berseloroh mengapa Allah suka ikut campur dalam urusan pribadi seseorang, maka saya angkat tangan dengan orang macam ini. Saya nggak tanggung. Betulan!

Yang perlu dipahami, kisruh penerapan konsep Hak Asasi Manusia sejatinya tidak terlepas dari sejarah munculnya konsep tersebut. Maka yang harus ditelusuri pertama kali sebelum kita latah menggunakan istilah itu, adalah dengan mengetahui latar belakang kemunculannya, juga landasan aplikasinya.

Ternyata, usut punya usut, istilah Hak Asasi Manusia lahir melalui “jabang bayi” Revolusi Perancis, di mana antara para tokoh borjuis dan tokoh gereja pada saat itu berkoalisi untuk merampas hak-hak rakyat. Akibat penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum tersebut, muncullah perlawanan rakyat yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang Hak Asasi Manusia. Hingga pada akhirnya ditetapkan deklarasi Internasional HAM pada 10 Desember 1948.

Sekilas dari sejarah itu, bisa dipahami bahwa umat Muslim sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan lahirnya konsep tersebut. Umat Muslim punya sejarah sendiri ketika dibebaskan hak asasinya sejak diutusnya Rasulullah Saw menyampaikan risalah Islam. Hal itu ditegaskan pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah 10 H (6 Maret 632 M), saat Rasulullah Saw menyampaikan ‘khutbah perpisahan’ di hadapan ribuan jamaah haji di bukit Arafah. Hari itu merupakan monumen dalam sejarah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.  Dalam khutbahnya, Nabi Muhammad Saw dengan tegas menolak rasisme apapun bentuknya, dari superiority complex hingga diskriminasi dan perampasan hak orang lain. Beliau menyerukan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan jauh sebelum Revolusi Perancis meneriakkan slogan “liberte, egalite, fraternite”.

Yang perlu direnungkan adalah bahwa, selain manusia, Allah juga punya hak! Jika manusia –sebagai makhluk yang diciptakan- memiliki hak untuk dipenuhi kebutuhan fithrahnya, maka Allah –yang Maha Menciptakan- mempunyai hak untuk ditaati. Dan jangan ditanya, sudah barang tentu hak Allah lebih tinggi daripada hak manusia. So what, jika hak manusia dianggap lebih utama, memangnya siapa manusia?

Karenanya, sebagai manusia kita harus berlaku “fair”. Allah sudah memberikan kebebasan berekspresi kepada semua makhluk-Nya, dengan catatan, tidak menyalahi koridor yang telah ditetapkan-Nya. Hal ini wajar, sebab Dia-lah yang Maha Menciptakan, sebab Dia-lah yang Maha Mengetahui aturan yang haq yang akan memberikan maslahat kepada seluruh makhluk yang telah diciptakan.

Dengan demikian, istilah Hak Syar’i Manusia (HSM) akan lebih tepat digunakan tinimbang istilah Hak Asasi Manusia (HAM) –dalam kaitannya dengan konsep kebebasan seorang Muslim-. Jika istilah yang pertama dapat dengan jelas dipahami berlandaskan syara’, maka istilah yang kedua masih samar dimengerti pijakan dan parameternya, di samping juga harus dipahami sejarah kemunculannya.

Janggal?

Awalnya saya juga berpikir demikian. Aneh-aneh saja kesannya. Namun setelah saya renungkan; jika HSM dianggap sebagai semacam istilah bid’ah yang tertolak dalam Islam, maka HAM tidak hanya bid’ah yang tertolak, tetapi juga terbuang di jamban.

Saat ini mari kutunjukkan padamu istilah De-Islamization of Language yang digagas oleh Prof. Naquib Al-Attas. Beliau mengatakan, jika umat Muslim dirusak dari sisi bahasanya, maka akan kacau pula pemahamannya. Dan benar, selain HAM di atas, banyak umat Muslim saat ini yang mulai fasih menyetir istilah-istilah “impor” lainnya semisal Demokrasi, Pluralisme, Emansipasi, sampai klasifikasi Islam Ekslusif-Inklusif, atau Radikal-Moderat, meski tak jarang mereka sendiri tidak mengerti latar belakang dan seluk beluk istilah-istilah itu.

Parahnya, ada yang kemudian menciptakan definisi baru –dari istilah asing tersebut- dengan definisi yang telah diislam-islamkan, dengan dicomotkan berbagai dalil yang disambung-sambungkan (baca: dipaksakan) di tengah definisi aslinya yang terus eksis dan digulirkan. Sehingga satu istilah dengan bercabang definisi ini, ketika disoroti kesalahannya, argumen mereka mirip dengan argumen maling yang, ketika akan diringkus, berusaha mengelak dengan berkata, “Definisi Anda tentang ‘maling’ itu keliru!”

Kawan, di penghujung tulisan ini, akan saya sertakan sebuah kutipan yang merupakan penutup salah satu bab dalam buku Ma’alim fie ath-Thariq karya Sayyid Quthb, sebagai penjelas serta bahan renungan.

Simaklah…

Bukankah kepentingan kamanusiaan (human interest, mashlahatul-basyar) adalah hal yang seharusnya membentuk realitas mereka sendiri?

Maka, sekali lagi, kita kembali pada pertanyaan yang dimunculkan Islam dan kemudian dijawabnya:

Apakah kalian yang lebih tahu ataukah Allah?
Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui! [Al-Baqarah, 216]

Kepentingan manusia sebenarnya telah tercakup dalam syariat Allah, sebagimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya dan disampaikan Rasulullah Saw dalam Sunnahnya. Seandainya suatu ketika manusia beranggapan bahwa kepentingan mereka tidak sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Allah bagi mereka, maka di sini ada dua kemungkinan. Pertama, mereka memahaminya secara keliru karena sebatas apa yang tampak secara lahir, sebagaimana firman Allah,

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” [An-Najm, 23-25]

Dan kedua, mereka termasuk kaum kafir. Karena, siapapun yang mengklaim bahwa kepentingan manusia –menurut pendapatnya- tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, maka sedikit pun ia tidak berada dalam agama ini dan tidak pula termasuk pemeluknya. Wallahu a’lam bish-Shawab. []
*Ahsan Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar