Jumat, 16 Maret 2012

ARGUMENTASI IBLIS

 

"Kenali musuhmu dan akan kau menangkan seribu pertempuran." -Sun Tzu-

ARTHUR Jeffery menyebutnya Diabolos, sebuah istilah Yunani kuno yang sama artinya dengan Iblis. Iblis, sebagaimana dikatakan Dr. Syamsuddin Arif, merupakan ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Al-Qur’an menyatakannya sebagai golongan dari bangsa jin (al-Kahfi: 50), yang diciptakan dari api (al-Hijr: 27).

Kisah dan kiprah Iblis sudah jamak kita dengar, ia dikutuk lantaran menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam as.. Kemudian sesaat setelah ia divonis, Iblis meminta agar ajalnya ditangguhkan, memohon agar diberikan kebebasan sementara untuk kemudian bersumpah melampiaskan kekafirannya dengan menyeret manusia ke jalannya. Merekrut, mengkader, supaya berbondong-bondong manusia ‘mengipasinya’ di neraka, kelak.

Tak pelak, strategi Iblis dalam melumpuhkan keimanan pun cukup teruji di dalam kancah peradaban manusia. Ia memiliki semacam ‘manajemen pengkufuran’ yang, barangkali lebih sporadis dari gerakan MLM (Multilevel Marketing). Ampuhnya, tidak sedikit manusia yang berduyun-duyun mengikuti. Kemudian ada di antara mereka, selain seiya sekata, juga bersedia menjadi semacam juru bicara, serta pengacaranya.

Sebuah sinopsis yang mengingatkan saya pada diskusi ringan dengan salah seorang teman di kampus Agama. Ia, mencoba menyodorkan “argumentasi Iblis”. Saya tak begitu ingat redaksi katanya, tapi tampaknya, ia sedang melakukan “uji-coba” dengan mempraktekkan argumentasi dalam novel “Iblis Menggugat Tuhan; The Madness of God”, sebab, apa yang ia lontarkan, sama persis dalam sinopsis buku tersebut.

“Kau bilang Adam berdosa gara-gara hasutanku? Kalau begitu, atas hasutan siapa aku melakukan dosa? Aku sebenarnya melakukan apa yang Dia perintahkan, dan aku sepenuhnya patuh pada keinginan Allah. Mau bagaimana lagi? Tak ada ruang yang luput dari kuasa-Nya. Aku bukanlah tuan bagi keinginanku sendiri.

“Aku menyembah Allah selama 700 ribu tahun! Tak ada tempat yang tersisa di langit dan di bumi di mana aku tak menyembah-Nya. Setiap hari aku berkata pada-Nya, ‘Ya Tuhan, anak keketurunan Adam menolak-Mu, namun Engkau tetap bermurah hati dan meninggikan mereka. Tapi aku, yang mencintai dan memuja-Mu dengan pemujaan yang benar, Engkau buat jadi hina dan buruk rupa’. Aku tak ingin bersujud pada Adam dengan satu alasan yang benar, karena, aku tak ingin mencintai dan sujud selain pada-Mu.” [Iblis]

Terlepas bahwa “curhat” di atas tidak ditulis langsung oleh Iblis, namun argumentasi tersebut tampaknya dibikin cukup kritis. Yang perlu diwaspadai adalah bahwa ‘kritis’, boleh jadi merupakan salah satu mortir muslihat yang digunakan Iblis untuk melumpuhkan mangsanya. Maksudnya, bagi sebagian orang yang lemah keilmuan dan keimanannya, paling mudah dibuat inferior lagi minder dengan gaya intelektual Iblis yang tampak memukau –meski tanpa sadar telah mengelabui-. Kemudian setelah retorika tersebut berhasil membuat mangsanya terpana dan terpesona, maka terbahaklah ia, sebab satu misi ‘perekrutan’ telah sukses terlaksana.

Sujud. Sebuah kata kerja yang juga merupakan kata kunci yang, iseng-iseng seringkali dijadikan sebagai bahan debat kusir mengenai keimanan Iblis. Hingga oleh sebab polemik kata itu pula, muncul celetukan yang pernah saya dengar; Iblis, berhak menyandang gelar makhluk paling bertakwa. Alasannya, seperti pada sebuah pleidoi yang  seringkali dibacakan para ‘pengacaranya’, bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Swt. semata, dan keputusan Iblis, dapat dibenarkan sebab secara cermat dan akurat Iblis telah menolak bersujud kepada Adam. Persoalannya, jika argumentasi itu dapat dibenarkan maka para malaikat yang pada faktanya bersedia bersujud di hadapan Adam, apakah mereka menyembah Adam? Sehingga dengan sendirinya malaikat telah melakukan ritual kesyirikan?

Prof. Naquib Al-Attas meluruskan hal ini dalam bukunya Islam dan Sekularisme. Dikatakan bahwa sesungguhnya, mereka mematuhi perintah Allah tidak lain karena pengakuan terhadap kelebihan ilmu yang dianugerahkan-Nya kepada Adam as.. Mereka, tidak seperti halnya Iblis, bukan hanya melihat tanah liat sebagai asal muasal kejadian Adam, tetapi juga mengenali dan mengakui ruh yang diembuskan Allah ke dalam diri beliau. Sementara Iblis, dengan sinis memandang Adam tidak lebih dari sekadar tanah liat belaka, tidak lebih. Sehingga ia –yang terbuat dari api- dengan angkuh bersikukuh menolak mengakui keunggulan Adam dengan cara bersujud kepadanya.

Seperti dalam ucapannya –sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an-, ketika para malaikat bersama-sama patuh lalu bersujud kepada Adam, hanya Iblis semata yang enggan mengikuti (Al-Hijr: 30-31). Ketika Allah mempertanyakan pembelotannya itu, Iblis menjawab, “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang telah Kau ciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk!”. Demikian argumentasi Iblis yang dapat dilacak dan pertanggungjawabkan kevalidannya (Al-Hijr: 32-33).

Hal yang penting dicermati adalah, Iblis sendiri pada saat itu sebetulnya tidak didapati telah menyama-nyamakan “sujud kepada Adam” dengan “menyembah kepada Adam”. Persepsi Iblis terhadap Adam tidak memandangnya setara Tuhan ketika ia menolak untuk bersujud, ia hanya beranggapan bahwa Adam tak semulia dirinya sebagai makhluk. Tetapi memang dasar perkembangan zaman, barangkali kemudian banyak muncul aliran ekstrem, di antaranya pengikut Iblis “garis keras”, sehingga argumentasi lain pun diciptakan untuk mengukuhkan klaim kebenaran Iblis. Dalam hal ini, Al-Attas kembali menyatakan:

“Pengakuan atas keunggulan orang lain tidak berarti kita menganggapnya sebagai rabb dan menilainya sebagai sikap ‘abd terhadap orang itu, tetapi tidak lain untuk mengakui Ilmu, Kehendak, Kekuasaan, dan Maksud Adil Allah Swt., Kemurahan-Nya, Kedermawanan-Nya dan Cintanya dalam menganugerahkan keunggulan pada seseorang di atas yang lain, sehingga orang itu dapat berbagi keunggulan tersebut dengan yang lainnya. Tetapi, hanya orang yang mengenal dan mengakui yang akan memperoleh keuntungan darinya, dan bukannya mereka yang tidak mengakuinya.”

Maka demikianlah perangai Iblis, ia kemudian dihalau Allah Swt. memasuki surga-Nya. Yang perlu direnungkan di sini ialah siapapun mengerti bahwa Iblis bukanlah atheis, ia bahkan lebih dulu mengenal Tuhan daripada manusia. Iblis pun bukan makhluk agnostik, ia bahkan tak pernah meragukan wujud serta ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak mengenal Tuhan, ia justru tahu dan percaya seratus persen. Namun permasalahannya kemudian, mengapa ia dilaknat dan dikafirkan?

Maka inilah benang merahnya.

Tahu saja tidak cukup. Percaya dan mengakui saja belum cukup. Seorang anak tidak lantas disebut berbakti-kepada-orang-tua hanya dengan tahu dan mengakui orang tuanya saja. Orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab, tidak kemudian disebut Muslim hanya dengan kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah Saw. seperti halnya orang tua mengenali anaknya sendiri (ya’rifūnahu kamā ya’rifūna abnā’ahum). Bagaimanapun, knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, demikian tegas Prof. Naquib Al-Attas. Jelas, pengetahuan dan pengakuan harus disertai dengan konsekuensi kepatuhan dan ketundukan, kesediaan dan kemauan.

Lalu, mengapa panjang lebar saya di sini ‘mendongeng’ perihal sepak terjang Iblis? Sebabnya, seperti sebuah pepatah yang konon digagas oleh ahli perang China, Sun Tzu, “kenalilah musuhmu!”, maka di awal bab ini saya menekankan untuk mengenal lebih jauh musuh. Sebab selama ini, barangkali kita sebatas tahu bahwa Iblis memang makhluk super brengsek, rajanya syetan, tetapi ajaran serta watak Iblis tetap menggurita di sekeliling kita, menjerat saudara kita, bahkan -na’ūdhubiLlāh- tanpa sadar menghunjam dan menukik tajam dalam diri dan kejiwaan kita.

Kiranya hal itu dapat dimengerti, sebab sejak ia dikabulkan permohonan masa tenggang hidupnya, ia bersumpah untuk menyeret manusia kepada jalannya. Iblis membeberkan hasrat dan tujuannya, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka seluruhnya.” (Al-Hijr: 39)

Iapun menantang dan mengancam akan menyesatkan manusia secara membabi buta dan melakukan segala cara. “Sungguh! Akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (Al-A’raf: 16-17)

Betapa mengerikan!

Ibnu Katsir mengutip keterangan Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa Iblis, bertekad untuk menyesatkan manusia dengan menebarkan keraguan, membikin lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu serta bimbang soal agama.

Kawan, maka tidakkah Kau lihat di sana bendera perang? Iblis mengibarkannya sejak Adam as. diciptakan sampai kelak tiupan tanda kiamat didengungkan. Mustahilkah melawan? Tidak. Hanya saja persyaratannya cukup berat, cukup ketat. Iblis mengecualikan serangannya kepada yang mukhlis di antara mereka (Al-Hijr: 40). Mukhlis, yang berarti orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah Swt.. Rasa-rasanya masih banyak di antara kita yang jauh dari kriteria itu, tetapi, dengan sifat Maha Pengasih dan Penyayang-Nya, semoga Allah memudahkan bagi kita untuk senantiasa dalam naungan hidayah-Nya. Semoga. []
*Ahsan Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar