Jumat, 16 Maret 2012

HAM vs HSM

Siapapun yang mengklaim bahwa kepentingan manusia –menurut pendapatnya- tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, maka sedikitpun ia tidak berada dalam agama ini dan tidak pula termasuk pemeluknya.” [Sayyid Quthb]


Jika bahasa Sanskerta mengurai makna agama sebagai gabungan dari kata A dan Gama yang berarti “tidak kacau”, -terlepas dari benar tidaknya definisi tersebut- maka adakah saat ini aturan yang mengacaukan agama itu sendiri? Jawabannya, ada. Celakanya, konsep itu dekat dengan bahasa keseharian kita, bahkan mungkin sudah mendarah daging dengan pemahaman kita, sehingga ketika saya usik dengan tulisan ini, akan ada yang mengerut, mengerjut.

Apa yang saya maksudkan di atas adalah konsep Hak Asasi Manusia, atau yang peka di telinga kita dengan istilah HAM, sebuah konsep yang seringkali diacung-acungkan untuk membela hak kemanusiaan, yang tak jarang perannya dimaknai lebih tinggi daripada hak ketuhanan.

Masih membekas dalam ingatan kita, ketika ramai-ramai kelompok Liberal dengan gaya Macho alias -sorry- “maju chochote” berada di garda depan untuk membela aliran-aliran menyimpang dalam Islam. Umumnya, dalam pembelaan itu mereka menjadikan otoritas pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), untuk dijadikan bemper membebaskan penafsiran keagamaan. Alhasil, malaikat Jibril versi parodi yang digagas oleh Lia Eden pun dianggap berhak menjalankan dan menyebarkan ajarannya, begitu juga jemaat Ahmadiyah dan seterusnya. Bahkan tidak luput persoalan homoseksual dan lesbian, yang kemudian muncul mujtahid abal-abal mahasiswa Fakultas Syariah di Semarang dengan menerbitkan jurnal bertemakan: Indahnya Kawin Sesama Jenis.

Manusia semacam itu, barangkali mengira Allah Swt kurang mengerti kepentingan manusia, sehingga ketika Allah membuat aturan, boleh jadi melanggar hak-hak makhluk yang diciptakan-Nya sendiri! Dan jika benar demikian, artinya mereka secara eksplisit telah menuduh lugu Allah Swt ketika melontarkan sebuah pertanyaan dalam kitab suci-Nya, Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)…?” [Al-Mulk, 14]

Adapun jika masih ada orang yang –terlebih mengaku Muslim- berseloroh mengapa Allah suka ikut campur dalam urusan pribadi seseorang, maka saya angkat tangan dengan orang macam ini. Saya nggak tanggung. Betulan!

Yang perlu dipahami, kisruh penerapan konsep Hak Asasi Manusia sejatinya tidak terlepas dari sejarah munculnya konsep tersebut. Maka yang harus ditelusuri pertama kali sebelum kita latah menggunakan istilah itu, adalah dengan mengetahui latar belakang kemunculannya, juga landasan aplikasinya.

Ternyata, usut punya usut, istilah Hak Asasi Manusia lahir melalui “jabang bayi” Revolusi Perancis, di mana antara para tokoh borjuis dan tokoh gereja pada saat itu berkoalisi untuk merampas hak-hak rakyat. Akibat penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum tersebut, muncullah perlawanan rakyat yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang Hak Asasi Manusia. Hingga pada akhirnya ditetapkan deklarasi Internasional HAM pada 10 Desember 1948.

Sekilas dari sejarah itu, bisa dipahami bahwa umat Muslim sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan lahirnya konsep tersebut. Umat Muslim punya sejarah sendiri ketika dibebaskan hak asasinya sejak diutusnya Rasulullah Saw menyampaikan risalah Islam. Hal itu ditegaskan pada hari Jumat, 9 Dzulhijjah 10 H (6 Maret 632 M), saat Rasulullah Saw menyampaikan ‘khutbah perpisahan’ di hadapan ribuan jamaah haji di bukit Arafah. Hari itu merupakan monumen dalam sejarah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.  Dalam khutbahnya, Nabi Muhammad Saw dengan tegas menolak rasisme apapun bentuknya, dari superiority complex hingga diskriminasi dan perampasan hak orang lain. Beliau menyerukan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan jauh sebelum Revolusi Perancis meneriakkan slogan “liberte, egalite, fraternite”.

Yang perlu direnungkan adalah bahwa, selain manusia, Allah juga punya hak! Jika manusia –sebagai makhluk yang diciptakan- memiliki hak untuk dipenuhi kebutuhan fithrahnya, maka Allah –yang Maha Menciptakan- mempunyai hak untuk ditaati. Dan jangan ditanya, sudah barang tentu hak Allah lebih tinggi daripada hak manusia. So what, jika hak manusia dianggap lebih utama, memangnya siapa manusia?

Karenanya, sebagai manusia kita harus berlaku “fair”. Allah sudah memberikan kebebasan berekspresi kepada semua makhluk-Nya, dengan catatan, tidak menyalahi koridor yang telah ditetapkan-Nya. Hal ini wajar, sebab Dia-lah yang Maha Menciptakan, sebab Dia-lah yang Maha Mengetahui aturan yang haq yang akan memberikan maslahat kepada seluruh makhluk yang telah diciptakan.

Dengan demikian, istilah Hak Syar’i Manusia (HSM) akan lebih tepat digunakan tinimbang istilah Hak Asasi Manusia (HAM) –dalam kaitannya dengan konsep kebebasan seorang Muslim-. Jika istilah yang pertama dapat dengan jelas dipahami berlandaskan syara’, maka istilah yang kedua masih samar dimengerti pijakan dan parameternya, di samping juga harus dipahami sejarah kemunculannya.

Janggal?

Awalnya saya juga berpikir demikian. Aneh-aneh saja kesannya. Namun setelah saya renungkan; jika HSM dianggap sebagai semacam istilah bid’ah yang tertolak dalam Islam, maka HAM tidak hanya bid’ah yang tertolak, tetapi juga terbuang di jamban.

Saat ini mari kutunjukkan padamu istilah De-Islamization of Language yang digagas oleh Prof. Naquib Al-Attas. Beliau mengatakan, jika umat Muslim dirusak dari sisi bahasanya, maka akan kacau pula pemahamannya. Dan benar, selain HAM di atas, banyak umat Muslim saat ini yang mulai fasih menyetir istilah-istilah “impor” lainnya semisal Demokrasi, Pluralisme, Emansipasi, sampai klasifikasi Islam Ekslusif-Inklusif, atau Radikal-Moderat, meski tak jarang mereka sendiri tidak mengerti latar belakang dan seluk beluk istilah-istilah itu.

Parahnya, ada yang kemudian menciptakan definisi baru –dari istilah asing tersebut- dengan definisi yang telah diislam-islamkan, dengan dicomotkan berbagai dalil yang disambung-sambungkan (baca: dipaksakan) di tengah definisi aslinya yang terus eksis dan digulirkan. Sehingga satu istilah dengan bercabang definisi ini, ketika disoroti kesalahannya, argumen mereka mirip dengan argumen maling yang, ketika akan diringkus, berusaha mengelak dengan berkata, “Definisi Anda tentang ‘maling’ itu keliru!”

Kawan, di penghujung tulisan ini, akan saya sertakan sebuah kutipan yang merupakan penutup salah satu bab dalam buku Ma’alim fie ath-Thariq karya Sayyid Quthb, sebagai penjelas serta bahan renungan.

Simaklah…

Bukankah kepentingan kamanusiaan (human interest, mashlahatul-basyar) adalah hal yang seharusnya membentuk realitas mereka sendiri?

Maka, sekali lagi, kita kembali pada pertanyaan yang dimunculkan Islam dan kemudian dijawabnya:

Apakah kalian yang lebih tahu ataukah Allah?
Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui! [Al-Baqarah, 216]

Kepentingan manusia sebenarnya telah tercakup dalam syariat Allah, sebagimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya dan disampaikan Rasulullah Saw dalam Sunnahnya. Seandainya suatu ketika manusia beranggapan bahwa kepentingan mereka tidak sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Allah bagi mereka, maka di sini ada dua kemungkinan. Pertama, mereka memahaminya secara keliru karena sebatas apa yang tampak secara lahir, sebagaimana firman Allah,

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” [An-Najm, 23-25]

Dan kedua, mereka termasuk kaum kafir. Karena, siapapun yang mengklaim bahwa kepentingan manusia –menurut pendapatnya- tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, maka sedikit pun ia tidak berada dalam agama ini dan tidak pula termasuk pemeluknya. Wallahu a’lam bish-Shawab. []
*Ahsan Hakim

ARGUMENTASI IBLIS

 

"Kenali musuhmu dan akan kau menangkan seribu pertempuran." -Sun Tzu-

ARTHUR Jeffery menyebutnya Diabolos, sebuah istilah Yunani kuno yang sama artinya dengan Iblis. Iblis, sebagaimana dikatakan Dr. Syamsuddin Arif, merupakan ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Al-Qur’an menyatakannya sebagai golongan dari bangsa jin (al-Kahfi: 50), yang diciptakan dari api (al-Hijr: 27).

Kisah dan kiprah Iblis sudah jamak kita dengar, ia dikutuk lantaran menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam as.. Kemudian sesaat setelah ia divonis, Iblis meminta agar ajalnya ditangguhkan, memohon agar diberikan kebebasan sementara untuk kemudian bersumpah melampiaskan kekafirannya dengan menyeret manusia ke jalannya. Merekrut, mengkader, supaya berbondong-bondong manusia ‘mengipasinya’ di neraka, kelak.

Tak pelak, strategi Iblis dalam melumpuhkan keimanan pun cukup teruji di dalam kancah peradaban manusia. Ia memiliki semacam ‘manajemen pengkufuran’ yang, barangkali lebih sporadis dari gerakan MLM (Multilevel Marketing). Ampuhnya, tidak sedikit manusia yang berduyun-duyun mengikuti. Kemudian ada di antara mereka, selain seiya sekata, juga bersedia menjadi semacam juru bicara, serta pengacaranya.

Sebuah sinopsis yang mengingatkan saya pada diskusi ringan dengan salah seorang teman di kampus Agama. Ia, mencoba menyodorkan “argumentasi Iblis”. Saya tak begitu ingat redaksi katanya, tapi tampaknya, ia sedang melakukan “uji-coba” dengan mempraktekkan argumentasi dalam novel “Iblis Menggugat Tuhan; The Madness of God”, sebab, apa yang ia lontarkan, sama persis dalam sinopsis buku tersebut.

“Kau bilang Adam berdosa gara-gara hasutanku? Kalau begitu, atas hasutan siapa aku melakukan dosa? Aku sebenarnya melakukan apa yang Dia perintahkan, dan aku sepenuhnya patuh pada keinginan Allah. Mau bagaimana lagi? Tak ada ruang yang luput dari kuasa-Nya. Aku bukanlah tuan bagi keinginanku sendiri.

“Aku menyembah Allah selama 700 ribu tahun! Tak ada tempat yang tersisa di langit dan di bumi di mana aku tak menyembah-Nya. Setiap hari aku berkata pada-Nya, ‘Ya Tuhan, anak keketurunan Adam menolak-Mu, namun Engkau tetap bermurah hati dan meninggikan mereka. Tapi aku, yang mencintai dan memuja-Mu dengan pemujaan yang benar, Engkau buat jadi hina dan buruk rupa’. Aku tak ingin bersujud pada Adam dengan satu alasan yang benar, karena, aku tak ingin mencintai dan sujud selain pada-Mu.” [Iblis]

Terlepas bahwa “curhat” di atas tidak ditulis langsung oleh Iblis, namun argumentasi tersebut tampaknya dibikin cukup kritis. Yang perlu diwaspadai adalah bahwa ‘kritis’, boleh jadi merupakan salah satu mortir muslihat yang digunakan Iblis untuk melumpuhkan mangsanya. Maksudnya, bagi sebagian orang yang lemah keilmuan dan keimanannya, paling mudah dibuat inferior lagi minder dengan gaya intelektual Iblis yang tampak memukau –meski tanpa sadar telah mengelabui-. Kemudian setelah retorika tersebut berhasil membuat mangsanya terpana dan terpesona, maka terbahaklah ia, sebab satu misi ‘perekrutan’ telah sukses terlaksana.

Sujud. Sebuah kata kerja yang juga merupakan kata kunci yang, iseng-iseng seringkali dijadikan sebagai bahan debat kusir mengenai keimanan Iblis. Hingga oleh sebab polemik kata itu pula, muncul celetukan yang pernah saya dengar; Iblis, berhak menyandang gelar makhluk paling bertakwa. Alasannya, seperti pada sebuah pleidoi yang  seringkali dibacakan para ‘pengacaranya’, bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Swt. semata, dan keputusan Iblis, dapat dibenarkan sebab secara cermat dan akurat Iblis telah menolak bersujud kepada Adam. Persoalannya, jika argumentasi itu dapat dibenarkan maka para malaikat yang pada faktanya bersedia bersujud di hadapan Adam, apakah mereka menyembah Adam? Sehingga dengan sendirinya malaikat telah melakukan ritual kesyirikan?

Prof. Naquib Al-Attas meluruskan hal ini dalam bukunya Islam dan Sekularisme. Dikatakan bahwa sesungguhnya, mereka mematuhi perintah Allah tidak lain karena pengakuan terhadap kelebihan ilmu yang dianugerahkan-Nya kepada Adam as.. Mereka, tidak seperti halnya Iblis, bukan hanya melihat tanah liat sebagai asal muasal kejadian Adam, tetapi juga mengenali dan mengakui ruh yang diembuskan Allah ke dalam diri beliau. Sementara Iblis, dengan sinis memandang Adam tidak lebih dari sekadar tanah liat belaka, tidak lebih. Sehingga ia –yang terbuat dari api- dengan angkuh bersikukuh menolak mengakui keunggulan Adam dengan cara bersujud kepadanya.

Seperti dalam ucapannya –sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an-, ketika para malaikat bersama-sama patuh lalu bersujud kepada Adam, hanya Iblis semata yang enggan mengikuti (Al-Hijr: 30-31). Ketika Allah mempertanyakan pembelotannya itu, Iblis menjawab, “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang telah Kau ciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk!”. Demikian argumentasi Iblis yang dapat dilacak dan pertanggungjawabkan kevalidannya (Al-Hijr: 32-33).

Hal yang penting dicermati adalah, Iblis sendiri pada saat itu sebetulnya tidak didapati telah menyama-nyamakan “sujud kepada Adam” dengan “menyembah kepada Adam”. Persepsi Iblis terhadap Adam tidak memandangnya setara Tuhan ketika ia menolak untuk bersujud, ia hanya beranggapan bahwa Adam tak semulia dirinya sebagai makhluk. Tetapi memang dasar perkembangan zaman, barangkali kemudian banyak muncul aliran ekstrem, di antaranya pengikut Iblis “garis keras”, sehingga argumentasi lain pun diciptakan untuk mengukuhkan klaim kebenaran Iblis. Dalam hal ini, Al-Attas kembali menyatakan:

“Pengakuan atas keunggulan orang lain tidak berarti kita menganggapnya sebagai rabb dan menilainya sebagai sikap ‘abd terhadap orang itu, tetapi tidak lain untuk mengakui Ilmu, Kehendak, Kekuasaan, dan Maksud Adil Allah Swt., Kemurahan-Nya, Kedermawanan-Nya dan Cintanya dalam menganugerahkan keunggulan pada seseorang di atas yang lain, sehingga orang itu dapat berbagi keunggulan tersebut dengan yang lainnya. Tetapi, hanya orang yang mengenal dan mengakui yang akan memperoleh keuntungan darinya, dan bukannya mereka yang tidak mengakuinya.”

Maka demikianlah perangai Iblis, ia kemudian dihalau Allah Swt. memasuki surga-Nya. Yang perlu direnungkan di sini ialah siapapun mengerti bahwa Iblis bukanlah atheis, ia bahkan lebih dulu mengenal Tuhan daripada manusia. Iblis pun bukan makhluk agnostik, ia bahkan tak pernah meragukan wujud serta ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak mengenal Tuhan, ia justru tahu dan percaya seratus persen. Namun permasalahannya kemudian, mengapa ia dilaknat dan dikafirkan?

Maka inilah benang merahnya.

Tahu saja tidak cukup. Percaya dan mengakui saja belum cukup. Seorang anak tidak lantas disebut berbakti-kepada-orang-tua hanya dengan tahu dan mengakui orang tuanya saja. Orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab, tidak kemudian disebut Muslim hanya dengan kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah Saw. seperti halnya orang tua mengenali anaknya sendiri (ya’rifūnahu kamā ya’rifūna abnā’ahum). Bagaimanapun, knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, demikian tegas Prof. Naquib Al-Attas. Jelas, pengetahuan dan pengakuan harus disertai dengan konsekuensi kepatuhan dan ketundukan, kesediaan dan kemauan.

Lalu, mengapa panjang lebar saya di sini ‘mendongeng’ perihal sepak terjang Iblis? Sebabnya, seperti sebuah pepatah yang konon digagas oleh ahli perang China, Sun Tzu, “kenalilah musuhmu!”, maka di awal bab ini saya menekankan untuk mengenal lebih jauh musuh. Sebab selama ini, barangkali kita sebatas tahu bahwa Iblis memang makhluk super brengsek, rajanya syetan, tetapi ajaran serta watak Iblis tetap menggurita di sekeliling kita, menjerat saudara kita, bahkan -na’ūdhubiLlāh- tanpa sadar menghunjam dan menukik tajam dalam diri dan kejiwaan kita.

Kiranya hal itu dapat dimengerti, sebab sejak ia dikabulkan permohonan masa tenggang hidupnya, ia bersumpah untuk menyeret manusia kepada jalannya. Iblis membeberkan hasrat dan tujuannya, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka seluruhnya.” (Al-Hijr: 39)

Iapun menantang dan mengancam akan menyesatkan manusia secara membabi buta dan melakukan segala cara. “Sungguh! Akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (Al-A’raf: 16-17)

Betapa mengerikan!

Ibnu Katsir mengutip keterangan Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa Iblis, bertekad untuk menyesatkan manusia dengan menebarkan keraguan, membikin lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu serta bimbang soal agama.

Kawan, maka tidakkah Kau lihat di sana bendera perang? Iblis mengibarkannya sejak Adam as. diciptakan sampai kelak tiupan tanda kiamat didengungkan. Mustahilkah melawan? Tidak. Hanya saja persyaratannya cukup berat, cukup ketat. Iblis mengecualikan serangannya kepada yang mukhlis di antara mereka (Al-Hijr: 40). Mukhlis, yang berarti orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah Swt.. Rasa-rasanya masih banyak di antara kita yang jauh dari kriteria itu, tetapi, dengan sifat Maha Pengasih dan Penyayang-Nya, semoga Allah memudahkan bagi kita untuk senantiasa dalam naungan hidayah-Nya. Semoga. []
*Ahsan Hakim

PALESTINA dimata kami.


Tulisan gw kali ini adalah rangkuman dari sedikit percakapan (didunia maya) bersama kawan gw tentang pandangannya terhadap persoalan PALESTINA. dari pengamatan serta interaksi  gw, ada satu kawan gw yg paling vocal klo berbicara tentang PALESTINA. Sebut aja namanya bagold, jika melihat wajah dan fisik nya sekilas memang tidak meyakinkan (hahahaha) tp saat diskusi berlangsung baru ketauan deh kecerdasaan pola pikir serta wawasan intelektualnya. Gw pribadi kenal dengan dia hampir 13 tahun, awal 1998/1999 saat itu adalah era kejayaan para komunitas PUNK & SKINS didepok, via buddy ‘coly’ temen sekelas saat STM, gw dibimbing berinteraksi dengan para ‘senior’ PUNK di beji. dan saat itulah gw kenal banyak kawan, salah satunya si bagold (ciee senior neh ye).

Klo kita mau, sebenernya bgitu banyak alasan untuk ‘Cuek’ dan ngga perduli terhadap krisis kemanusiaan di PALESTINA, segudang alasan dan pembenaran argumentasi bisa kita ucapkan, “ngapain ngurusin Negara orang, di indonesia aja masih banyak yang susah, udah deh jangan jd pahlawan kesiangan!, emang elo kenal apa ama yg dipalestina?, ok..ok aja sich aksi mendukung palestina, tp yakin efektif tuh? Yakin di denger tuh?.”  Yups…Bebas aja gan, sebebas burung camar terbang tanpa batas, tp ijinin gw posting kata-kata kawan gw untuk jawab pertanyaan ‘Ngeyel’ diatas ya.

Dan kalimat ini pun sering kita Dengar sejak masuk Sekolah Dasar...yang ada dalam pembukaan UUD 1945: """  Bahwa sesungguhnya KEMERDEKAAN itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu ,maka PENJAJAHAN DIATAS DUNIA HARUS DIHAPUSKAN karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.".....FREE PALESTINE!!!....Dukung terus upaya Pembebasan Palestina dari Zionis Israel....!!!... AGAINST ZIONISM!!!

 “...malu dong ama anak-anak Palestine mereka cuma menggunakan Batu dari puing-puing bekas reruntuhan bangunan...buat ngelawan langsung Tentara Zionist nyang dilengkapi Senjata Militer super canggih termasuk TANK...masa kita KAGA BERANI tibang ngucapin/tereak ANTI-ZIONISM....LAWAN ZIONISM...TOLAK ZIONISM....AGAINST ZIONISM...!!! apa iya tibang besuara doang kaga berani juga...pake baju Popaganda Anti-Zionism takut juga...kebangetan nama'nya ituh Tong!!!”

guah mah udah Kebal nemuin Orang nyang Berkomentar "Belaga sinis, Ga Peduli ama beginian, Masa Bodo ama beginian, yg ga tau & ga mau tau ama beginian, dikatah so anu'lah-itu'lah ,Belaga anti inilah...anti itu'lah...ampe ucapan & perkataan seperti "meningan eluh ngurusin diri sendiri ajah jangan ngurusin orang laen, urusin makan ajah dulu....ga usah sotoyyy...!!!

#guah jawab : "Whaaaatttttt???"Hidup bukan Cuma untuk Makan atau GEGARES doang" Bung...kalo tibang urusan makan mendingan jadi KEBO bukan manusia & sekali lagi tidak ada hubunganya antara makan & sikap(menyikapi) /pandangan politik menolak kebiadaban zionism ini....inih'lah diri GUAH Bung...& GUAH punya sikap untuk menyikapi'nya dengan cara guah sendiri...Punya sikap ituh penting Bung apa lagi yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai agama, kemanusiaan atau hati nurani'luh sendiri...kalo memang tidak peduli jangan coba-coba ajak saya untuk tidak peduli...& ga usah kaget kalo sayah ituh "berbeda".... #SatuBumiTanpaZionism

Tulisan diatas adalah ungkapan hati kawan gw si bagold, sebuah argumentasi yg menurut gw cukup mengambarkan sikap perlawanan, tegas, geram dan kebencian terhadap para penjajah! RESPECT buat lo gold.

Trus klo sikap gw sendiri gmana tentang krisis kemanusiaan di Palestina?
Sederhana aja, gw cukup jawab: karna Kaum Muslimin sedunia adalah saudara seiman.Sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman tak lain adalah saudara".(QS. Al- Hujurat:10) dan juga berdasarkan sabda Rosul "Kaum muslimin ibarat satu tubuh. Bila ada satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh lainnya akan merasakan hal yang sama.[HR. Bukhari-Muslim]
#SATU BUMI TANPA BATAS TANPA PENINDAS - FREEDOM PALESTINE!

“Dengan membusungkan dada,
Dada yang merah menyala
Dengan mengepalkan tangan kanannya,
Tangan yang merah menyala
Ia teriakan sebuah tantangan,
Tantangan yang merah menyala
Kepada seluruh tentara Israel yang durjana
Ayo, tembakan seluruh peluru kalian
Pada dadaku dan dada seluruh anak Palestina
Maka kalian akan kalah bersama keputus asaan
Dan kami akan menang bersama keyakinan!”

Rabu, 14 Maret 2012

Satu Jiwa Merubah Negara!

”Kembali kesini, kami jamin kalian berdua selamat” teriak pasukan khusus Abbasiyyah di tepi sungi Eufrat. Kemudian adik Abdurrahman bin Mu’awiyyah terpedaya dan segera kembali. Abdurrahman berusaha melarang, ”mereka akan membunuhmu”. Ternyata benar, sesampainya di tepi, anak 13 tahun itu segera ditarik, dan dieksekusi di depan mata kakaknya sendiri. Berat benar di hati dan jiwa melihatnya, tapi ini bukan saatnya sedih meratapi. Keturunan terakhir Daulah Umawiyyah tidak boleh punah di sungai ini.

Di usianya yang 19, ia terus berlari, seorang diri, dari pengejaran daulah baru Abbasiyyah. Menuju Hijaz, Mesir, Libya selama 5 tahun dalam kesunyian dan pengasingan hingga akhirnya sampai di Kairowan. Tapi disana revolusi Khawarij sedang panas, dan kepala putra mahkota Umawiyyah tetap diincar. Dalam kondisi keamanan yang kritis, ia tetap berfikir. Hidup dalam kesunyian dan persembunyian, atau kembali merebut piala sejarah?
 
Darah mudanya tidak destruktif  tapi konstruktif. Ide besarnya mulai di rekonstruksi, ia mempunyai mimpi dan obsesi. Dari kesendirian menuju peradaban. Satu jiwa merubah negara. Ia melarikan diri ke negeri Andalus yang sedang sekarat menunggu kematiannya. Ibermanuver mencari rekan dan massa. Berlalu waktu hingga hati-hati manusia berkumpul dalam hati satu orang pemuda. Rancangan besar Abdurrahman terwujud bahkan 34 tahun memimpin Andalus. Ia mencetak tentara tanpa tara, membangun benteng, pemukiman, dan kesenian, meredam pemberontakan, dan menyelesaikan kerusuhan, dan yang paling utama: ia meletakan dasar peradaban baru, yaitu Daulah Umawiyyah yang sebanding dengan keagungan Daulah Abbasiyyah di Baghdad.

Abdurrahman bin Muawiyyah adalah contoh kecil ketika satu orang pemuda bisa merubah satu negara, saat di zaman ini seratus pemuda boleh jadi tidak mampu membersihkan jalan-jalan komplek rumahnya. Satu orang pemuda bisa merubah satu umat, tapi seribu pemuda boleh jadi bingung dengan apa yang harus dikerjakan esok harinya.

Inilah permasalahan utama pemuda zaman ini. Tidak menyadari peluang kerja besar yang mungkin ia produksi di usia mudanya. Sebagian beralasan karena terlalu mudanya usia. Tidakkah mereka melihat sejarah bahwa Sa’ad bin Abî Waqqâsh memulai menghadapi kerasnya tirani kafir Quraish di usia 17 tahun atau seperti 16 tahunnya Thalhah bin ’Ubaidillâh, atau 15 tahunnya az-Zubair bin al-’Awwâm, atau 13 tahunnya Zaid bin Tsâbit, bahkan 10 tahunnya ’Ali bin Abî Thâlib.

Lalu bagaimana dengan skala aktivitas remaja SMP dan SMA usia 13-19 zaman ini, atau mahasiswa usia 20-30 tahun? Apa pikiran-pikiran yang memenuhi otak pemuda zaman ini? Apa mimpi-mimpi yang menemani tidur hangatnya? apa harapan-harapan yang melenakan waktu istirahatnya?

Yakinlah! Semua kualifikasi dasar yang dimiliki satu orang di lima abad atau lima belas abad lalu sama persis dengan apa yang dimiliki pemuda zaman ini. Tapi mengapa produk perubahan mereka berbeda?

Perubahan adalah hasil kapasitas. Dan inilah pembedanya. Kapasitas itu bisa direkayasa dan dibangun. Ia dibangun oleh jauhnya pandangan (Nazhrah Ba’îdah) dan kekuatan obsesi (Thumûh).

Seperti para pemuda penggerak revolusi. Saat selimut kezaliman menutupi badan masyarakat Mesir selama tiga dekade, tidak semua mampu melihat jalan keluar, dan tidak semua mampu membuat langkah pertama. Bahkan sebagian besar pemuda tenggelam dalam kehangatannya, lalu menghabiskan usia muda dalam rentetan agenda ceria tanpa makna di cafe dan sepanjang nil atau trotoar jalan Alexandria. Hingga tiba badai perubahan yang ditiupkan para pemuda pada 25 Januari yang melihat masa depan, para pemuda yang merencanakan aksi turun kejalan. Merekalah, mahasiswa dan para pemuda pemilik ide besar yang memulai, sehingga sisanya hanya tinggal menjadi pengikut dan pelanjut.

Seperti itu tabiat perubahan, tidak perlu dimulai oleh seribu, tapi satu atau dua jiwa yang memulai dari diri mereka sendiri, dari pikiran-pikiran dan pandangannya. Dan Allah sudah menegaskan prinsip perubahan ini “Inna Allaha lâ yughayyiru mâ biqaumin hattâ yughayyirû mâ bi anfusihim”.

Kerja-kerja besar sepanjang sejarah bukan hasil angan-angan generasi tua, tapi dirancang dan dieksekusi di usia muda. Tidak perlu memulai dari seribu jiwa, tapi dari satu jiwa. Jiwa yang terkuat, jiwa yang menyadari keluasan sejarah dan kedalaman tarbiyyah agamanya. Yang umat tunggu adalah para pemuda, yang satu jiwanya mampu merubah negaranya. InsyaAllah.

 *Muhammad Elvandi
(seorang sahabat dengan tulisan yg sangat inspiratif)

Kamis, 01 Maret 2012

Straight edge or Islamic lifestyle?



“I’m a person just like you
But I’ve got better things to do
Than sit around and smoke dope
‘Cause I know I can cope
Laugh at the thought of eating ludes
Laugh at the thought of sniffing glue
Always gonna keep in touch
Never want to use a crutch

 I’ve got straight edge”
 (Ian McKaye, Minor Threat)

SUBCHAOSZINE–Straight edge adalah sebuah istilah untuk gaya hidup positif yang dikenal dalam scene hardcore/punk diseluruh dunia. Gaya hidup tersebut menekankan pada aksi personal yang menjauhkan diri dari rokok, alkohol, obat-obatan terlarang, dan free-sex. Sedangkan istilah “straight edge” sendiri dipopulerkan oleh band hardcore oldschool awal 80-an yang berasal dari Washington DC, Minor Threat, sebagai bentuk kultur tandingan dari stereotipikal punk rock yang dekat dengan gaya hidup alkohol, drugs, rokok dan seks bebas tadi. Stigma itu tidak ingin melekat di hati beberapa pecinta hardcore/punk ketika itu sehingga mereka mencetuskan straight edge sebagai sebuah gerakan (movement) untuk gaya hidup yang clean and positive.
Gaya hidup ini merupakan gaya hidup yang sangat militan, dan dinilai sebagai terobosan yang luar biasa dikalangan scene punk ketika itu. Tentu kita bisa membayangkan betapa ‘aneh’-nya gerakan ini dipandangan scene punk ketika itu. Oleh karenanya, menurut saya straight edge benar-benar contoh gerakan counter-culture yang sangat berani.

Straight edge semakin lama semakin memiliki pendukung yang besar. Hal itu seiring dengan munculnya band-band hardcore lain yang mengusung ide-ide straight edge di AS dan Eropa awal tahun 80-an, seperti Negative FX, Teen Idles, SSD, 7 Seconds, dan beberapa yang lain. Lalu dilanjutkan pada pertengahan 80-an, yang sering disebut sebagai “youth crew era”, straight edge kembali diusung oleh band-band seperti Youth of Today, Gorilla Biscuits, Judge, Bold, Chain of Streght, Uniform Choice, Slapshot, dan beberapa lainnya. Dari sini mulai berkembang ide straight edge baru yang lebih mengenalkan vegetarianisme, animal rights, dan veganisme. Pada era ini, vegetarian menjadi tema penting bagi penganut gaya hidup straight edge. Seperti yang dikatakan Ray Cappo, vokalis Youth of Today dalam lirik lagu mereka berjudul “No More”, “Meat-eating, flesh-eating, think about it. So callous this crime we commit”.

Isu-isu tentang veganisme dan vegetarianisme semakin berkembang pesat pada era tahun 90-an sampai muncul gerakan straight edge militan yang dikenal dengan istilah “hardline” (garis keras). Mereka menunjukkan kebanggannya yang sangat tinggi dengan menjadi seorang straight edge, bahkan terkadang pesan-pesan yang mereka sampaikan dalam setiap lagunya sangat konservatif, agak kurang toleran kepada non-straight edge, praktek aborsi dan homoseksual. Band-band yang cukup naik daun ketika itu seperti Morning Again, Earth Crisis, Mouthpiece, Strife, dan beberapa yang lain.

Kata seorang Jurusan HI Unpad, Hikmawan, dalam tulisannya berjudul “Punk Vs. Syariat Islam? Tentu Tidak!” di Jakartabeat.net menyatakan bahwa menjadi seorang straight edge itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Gaya hidup straight edge yang secara bahasa dapat diartikan sebagai “jalan yang lurus” sama dengan istilah Islam “shiratal mustaqim” dalam surat Al-Fatihah ayat ke-6. Hikmawan juga menjelaskan bahwa agama Islam juga mengajarkan tentang haramnya narkoba, alkohol, dan free sex, karenanya tidak ada pertentangan diantara keduanya.
Saya pribadi, pernah menjalani gaya hidup tersebut di era akhir 90an. Pemikiran yang saya pahami ketika itu persis sama dengan apa yang dikatakan Hikmawan pada tulisan diatas. Saya dulu merasa sangat bangga dengan menjalani gaya hidup positif semacam itu serta mencari pembenarannya dalam Islam. Selama yang saya ketahui Islam juga mengajarkan gaya hidup positif, maka saya merasa sah-sah saja saya menjalani gaya hidup straight edge juga. Namun akhirnya saya berpikir lagi setelah semakin saya mempelajari ajaran Islam lebih mendalam. Ketika saya belajar mengenai bab-bab yang membahas kedudukan niat dalam Islam, saya menemukan jawaban atas gaya hidup tersebut disini.
Hikmawan mungkin lupa tentang kedudukan niat dalam Islam. Tingkat pentingnya ibadah niat dalam agama ini sampai membuat ulama sekelas Imam Nawawi rahimahumullah menempatkan bahasan niat di bab paling awal dalam kitab Riyadhus Shalihin dan Arba’in An-Nawawi. Karena menurut kaidah-kaidah atau syarat-syarat diterimanya suatu amal agar dapat bernilai ibadah, yang pertama, harus diawali dengan niat ikhlas, hanya berharap pahala dari Allah Swt semata. Sedikit saja niat tersebut tercampur dengan lainnya (alias tidak ikhlas karena Allah Swt), maka yang terjadi aktifitas tersebut tidak lagi bernilai ibadah, alias hanya mendapatkan hasil didunia saja. Bukan hasil yang bernilai ukhrawi (akhirat).

Kedua, jika aktifitas itu ingin dinilai sebagai ibadah dan berpahala, dalam Islam mewajibkan untuk mengikuti contoh yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Atau dengan istilah lain, aktifitas tersebut harus sesuai dengan apa-apa yang diajarkan oleh Islam melalui Rasulullah Saw. Kalau ibadah itu dibuat-buat dengan sendirinya oleh manusia tersebut, lalu diberikan nama sendiri olehnya, maka itu masuk dalam kategori ibadah jenis baru yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw. Seperti misalnya menjadi straight edge sampai harus menganut vegetarianisme, veganisme bahkan animal liberation, tentu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Islam mengajarkan bahwa hewan itu diciptakan Allah Swt untuk dimakan oleh manusia (QS 16:5). Menganggap hewan memiliki perasaan dan sama-sama memiliki hak hidup (tidak boleh disembelih dan dimakan) merupakan sikap yang berlebihan. Sedangkan berlebihan (ghuluw) merupakan hal yang dilarang pula dalam Islam. Lagipula banyak penelitian yang membuktikan bahwa cara menyembelih hewan dalam Islam terbukti tidak menyakiti hewan tersebut.

Dengan kata lain, jika kita ingin menganut gaya hidup positif, jika kita ingin aktifitas kita tersebut mendapatkan pahala dari Allah Swt maka lakukan itu dengan cara Islam. Islam itu selain dipahami sebagai agama, juga merupakan way of life, alias gaya hidup. Islam sudah cukup menjadi jawaban bagi kita yang ingin menjalani gaya hidup positif. Dalam Islam diajarkan niat yang lurus karena Allah Swt semata. Bukan karena sekedar mengikuti ide-ide Ian McKaye dan band-band straight edge lainnya. Selain itu, bergaya hidup positif dalam Islam sudah ada contohnya dari Rasulullah Saw. Jelas kita akan meniru sunnah-sunnah beliau. Jelas kita sekaligus menjalankan syariat Islam didalamnya. Dengan menjadi jelas semua perbedaan hasil yang didapat antara penganut gaya hidup straight edge dengan penganut gaya hidup Islami, yaitu jika seseorang menjalankan straight edge, maka dia akan mendapat apa yang dia inginkan: badan sehat, dan gaya hidup yang positif diantara orang lain yang ada disekitarnya. Itu baik. Tidak masalah jika yang diinginkan memang hanya sebatas itu. Tapi bagi yang mau menjadi penganut gaya hidup positif ala Islam, maka selain mereka mendapatkan manfaat-manfaat secara duniawi seperti para penganut straight edge tadi, mereka juga mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt. Karena telah menjalankan sunnah-sunnah Nabi Saw. Karena sudah melakukan itu semua dengan harapan yang tinggi untuk mendapat pahala dari Allah Swt semata. Maka orang-orang seperti inilah yang kelak juga diberikan hadiah yang besar dari Allah Swt atas militansi yang sudah mereka lakukan didunia. Hadiah tersebut berupa surga yang terdapat banyak sungai-sungai yang mengalir didalmnya. Subhanallah indahnya… kita berdoa semoga kita termasuk didalamnya… amin.

[Aik, editor Sub Chaos Zine/ Senin, 9-1-2012, 15:07]

Self-Revolution or Die!

SUBCHAOSZINE– "Perubahan memang bukan suatu hal yang bisa dielakkan oleh setiap manusia. Pada hakekatnya setiap manusia akan terus berubah dari keadaan yang satu menjadi keadaan lainnya. Mengapa seperti itu? Karena manusia tersebut hidup. Kehidupan membuat seseorang berubah. Bisa karena usia yang semakin bertambah, bisa karena lingkungan yang ada disekitarnya, bisa juga dari berbagai hal yang dia temui semasa hidupnya, atau hal lain yang memungkinkan menyebabkan perubahan. Perubahan dapat dikategorikan menjadi dua, diantaranya perubahan yang merupakan keniscayaan (sudah pasti, sunnatullah, tidak terelakkan), dan satu lagi adalah perubahan karena hasil dorongan dari individu tersebut untuk berubah..."

Namun perubahan pada dasarnya berawal dari perubahan polapikir seseorang. Dari perubahan polapikir tersebut akhirnya memberikan dampak pada perubahan fisik seseorang (penampilan dan perilaku). Umumnya perubahan yang baik adalah perubahan yang terjadi dari hari ke hari menuju pola pikir yang lebih baik. Yaitu pola pikir yang lebih maju dari sebelumnya. Meninggalkan sesuatu yang buruk menuju hal-hal yang baik. Jika setiap hari kita mampu meninggalkan hal-hal buruk yang kita lakukan lalu menggantinya dengan hal-hal baik, maka itu merupakan progres perubahan yang luar biasa dalam diri kita. Itulah yang disebut sebagai REVOLUSI DIRI!

Seharusnya kita menjadi seorang scenester hc/punk malu jika tidak ada perubahan yang signifikan dalam diri kita dari sejak dulu hingga kini. Saya juga terkadang heran bercampur sedih ketika melihat teman-teman lama di scene ini yang eksis sejak awal-awal hc/punk berkembang di Indonesia tapi sampai hari ini (lebih dari 10 tahun) hidupnya tetap saja seperti dulu. Tidak lepas dari hal-hal yang percuma dan lebih pada bersenang-senang untuk dirinya sendiri. Tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Keluarganya berantakan. Anak istri tidak terurus. Pengangguran. Cuma jadi parasit buat orang-orang disekitarnya. Kalaupun punya sedikit uang justru habis untuk beli rokok atau untuk mabuk. Yang lebih parah lagi, dulu ketika saya kenal mereka dalam kondisi mereka sedang menjalani gaya hidup yang bersih (no smoke, no drink) tapi saat ini malah jadi “ahli hisap” dan “drunken master”. Lalu dimana idealisme yang dulu? Bukankah itu berarti mereka lebih menyedihkan ketimbang orang yang sama sekali tidak berubah lebih baik? Kenapa? Karena mereka justru berubah lebih buruk dari sebelumnya!

Dalam agama yang saya yakini : Islam, saya diajarkan tentang bagaimana kaidah-kaidah perubahan dalam hidup manusia. Jika hari ini kita sama saja dengan hari kemarin, maka kita termasuk orang yang rugi. Dan jika hari ini justru lebih buruk dari hari kemarin, maka kita termasuk orang yang celaka! Karena semakin hari sejatinya adalah semakin mendekatkan usia kita pada jadwal kematian kita. Alangkah menyedihkan jika ada manusia yang mati dalam kondisi dimana hidupnya di titik terburuk. Naudzubillah.. semoga diantara kita dihindarkan dari kondisi semacam itu.
Perubahan yang lebih baik dalam diri kita memang merupakan tuntutan jika kita ingin menjadi orang yang memiliki integritas di mata orang-orang dilingkungan kita. Secara logis, orang akan lebih percaya dengan orang-orang yang bisa memberikan bukti integritas dirinya. Misalnya, ketika kita mau mengorganisir acara (gigs) dan membutuhkan dana. Kemana kita akan mencari investor jika tidak ada satupun yang mengakui integritas kita? Investor mana yang mau percaya dana yang jutaan itu pasti kembali ketangannya jika kita dikenal sebagai orang yang tidak jujur, keluarga berantakan, hutang dimana-mana, pemabuk berat, perokok berat, dan lain sebagainya?

Maka saatnya kita melakukan revolusi di dalam diri kita sendiri. Persetan dengan revolusi sosial jika merubah hal-hal kecil dalam diri kita saja tidak mampu! Jangan terlalu muluk ingin menjadikan ide-ide kita sebagai solusi di masyarakat sebelum kita merubah diri sendiri secara total! Lakukan dari hal-hal yang kecil dahulu yang kita bisa! Lalu lakukan secara konsisten! Lalu yang terakhir,  LAKUKAN DARI SEKARANG!!!

#LONG LIVE SELF-REVOLUTION!!!

Tiga Makna Kebebasan Dalam Islam



Image
SUBCHAOSZINE–Akhir-akhir ini kebebasan menjadi lafaz sakti yang senantiasa kita dengar, sekabur apapun maknanya. Istilah kebebasan dan kemerdekaan umumnya dipahami sebagai padanan kata freedom dan liberty. Artinya keadaan dimana seseorang bebas dari dan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Yang disebut pertama adalah kebebasan negatif, dimana segala bentuk pengaturan dan pembatasan berupa suruhan, larangan ataupun ajaran, dianggap berlawanan dengan kebebasan; manakala yang kedua (‘bebas untuk’) dinamakan kebebasan positif, dimana seseorang boleh menentukan sendiri apa yang ia kerjakan. Demikian menurut Isaiah Berlin dalam Two Concepts of Liberty (1958).

Bagi seorang Muslim, kebebasan mengandung tiga makna sekaligus. Pertama, kebebasan identik dengan ‘fitrah’ –yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Seperti kata Nabi saw: ‘kullu mawludin yuladu ‘ala l-fitrah’. Setiap orang terlahir sebagai mahluk dan hamba Allah yang suci bersih dari noda kufur, syirik dan sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian mengubah statusnya tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah.
Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan.
Ahli tafsir abad keempat Hijriah, ar-Raghib al-Ishfahani, dalam kitabnya menerangkan dua arti ‘bebas’ (hurr): pertama, bebas dari ikatan hukum; kedua, bebas dari sifat-sifat buruk seperti rakus harta sehingga diperbudak olehnya. Pengertian kedua inilah yang disinyalir Nabi saw dalam sebuah hadis sahih: ‘Celakalah si hamba uang’ (ta‘isa ‘abdu d-dinar’) (Lihat: Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 224).
Makna kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istitha‘ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath al-mustaqim) ataukah jalan yang lekuk. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. ‘Siapa yang mau beriman, dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan’ (fa-man sya’a fal-yu’min, wa man sya’a fal-yakfur), firman Allah dalam al-Qur’an (18:29).

Kebebasan disini melambangkan kehendak, kemauan dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat. Firman Allah: ”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS al Isra’:18-19)
”Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS asy Syura:20). Terserah padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah mau menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah barang tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban.
Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha fi d-din’ (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir. Mereka yang berislam dengan sukarela (thaw‘an) lebih unggul dari mereka yang berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi dibandingkan dengan mereka yang kafir dengan sukarela.

Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya (Lihat: Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 33-4). Oleh karena itu, orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik (khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia tidak dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.
Jadi, dalam tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, manakala kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban. Kebebasan seyogianya dipandu ilmu dan adab supaya tidak merusak tatanan kehidupan. Supaya membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Dalam kerangka inilah seorang Muslim memahami firman Allah: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya” (QS. Fushshilat:46). Maka janganlah kebebasan itu menyebabkan kebablasan.
[S. Arif]