“Qulil haq walau kaana muuran,”
UNDERGROUND TAUHID–Jumat cerah, 12 Rabiul Awwal 241 H.Baghdad menangis. 800.000 orang berbaris memanjang menuju Masjid Jami’Baghdad. Tak hanya muslim, 20.000 orang Nasrani dan Yahudi ikut berbaris menangis. Selama seminggu masjid itu penuh, orang-orang berdesakan untuk menyolatkan seorang jenazah berkulit sawo matang yang sekujur tubuhnya penuh luka.
Semasa hidupnya, penjara dan siksaan bukanlah hal asing. Gara-gara bertahan melawan pendapat bahwa Al Quran itu makhluk (Muktazilah), badannya jadi santapan cambuk-cambuk algojo. “Barangsiapa menganggap Al Quran itu makhluk, mereka telah sesat. Barangsiapa menganggap Alquran bukan makhluk, maka mereka bid’ah. Sesungguhnya Alquran itu firman Allah,” katanya.
Khalifah Al Ma’mun menjadikan Muktazilah sebagai madzhab resmi. Lelaki itu menentang keras karena Muktazilah ingin mengawinkan logika filsafat rasional Yunani kuno dengan prinsip tauhidullah. Melawan orang kuat, harus dengan mental kuat. Selama periode tiga periode khalifah (16 tahun), ia terus disiksa.
Khalifah Al Makmun mengangkat orang Muktazilah pada posisi penting di pemerintahan. Mereka juga berusaha menyingkirkan lawan-lawannya, termasuk dirinya. Banyak teman seperjuangannya yang menyerah karena beratnya siksaan. Suatu ketika, Al Makmun mendatangkan paksa ia dan sahabatnya, Muhamad bin Nuh. Mereka pun digiring oleh tentara khalifah dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dunia dalam perjalanan. Sementara ia dikembalikan lagi ke Baghdad dan langsung dipenjara setelah mendengar Al Makmun meninggal.
Berlanjut pada Khalifah Al Mu’tashim. Sesuai wasiat ayahnya (Al Makmun), ia melanjutkan intimidasi pada orang-orang anti Muktazilah. Bahkan ia dihadapkan langsung dengan dedengkot Muktazilah, Ibnu Abi Duad, untuk berdebat. Muktazilah kalah, tapi tetap paksa ia mengakui Quran itu makhluk. Karena tetap bertahan, ia dicambuk sampai tak sadarkan diri dan mendekam di penjara selama 30 bulan. Selama itu ia sholat dan tidur dalam keadaan terbelenggu. Selama itu pula khalifah mengirim orang untuk menanyai apakah dirinya sudah berubah pandangan. Jawabannya tak berubah. Hasilnya, belenggunya ditambah dan cambukannya diperkeras.
Kemudian ia dibebaskan dalam keadaan tak bisa berjalan. Setelah luka-lukanya membaik, ia kembali mengajar. Namun hal itu tak bertahan lama. Khalifah berpindah ke tangan Al Watsiq, ujian datang lagi. Ia dipenjara di rumahnya. Bahkan untuk sekedar menunaikan sholat berjamaah saja tidak boleh. Derita ini berlangsung lima tahun. Dan baru-baru benar berakhir pada masa Al Mutawakkil. Khalifah itu membasmi pemikiran Muktazilah. Ia ditawari posisi nyaman di pemerintahan, ia menolak dan lebih memilih tetap belajar dan mengajar.
Apa yang membuatnya tegar? Ia selalu memberi semangat, orang-orang terdahulu digergaji kepalanya, namun hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya. ”Aku tidak peduli dengan penjara, penjara dan rumahku sama saja,” tegasnya. Seorang sahabat mencoba menasehatinya,”Anda punya tanggungan keluarga yang harus anda urus, anda juga sudah udzur (lemah karena usia),”. Dengan gigih ia berkata,”Jika demikian cara berpikir anda, maka anda telah istirahat dari perjuangan,”
Dialah Imam Ahmad bin Hanbali, seorang ‘alim nan tawadhu. Dari tangannya lahir perawi hadist sekaliber Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah. Bukunya yang berjudul Musnad, sangatlah legendaris. Masterpiece murid Imam Syafi’i ini berisi 30.000 hadist yang sudah diseleksi dari 700.000 hadist yang ia hafal. Karya besar memang butuh kesabaran besar pula. Bayangkan, 60 tahun ia menyusun buku itu!
Rasa cintanya pada ilmu, melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Ia selalu minta ditunjukkan ulama’-ulama’ hadist shahih, di seluruh negeri islam. Tak heran, sama seperti imam madzhab lainnya, ia pun mengembara dari Baghdad sampai Hijjaz. “Jika ada perawi hadist shahih, beritahu aku, walaupun perawi itu berada di Kufah atau Syam, saya segera datangi,” tekadnya. Imam Syafii berkomentar,”Ahmad bin Hanbal adalah imam dalam delapan hal: Hadist, Fiqih, Bahasa, Alquran, Kefakiran, Kezuhudan, Wara’ dan Sunnah’”.
Ditengah kesibukkannya mengajar dan mencari ilmu, ia tak pernah lalai beribadah. Anaknya pernah bercerita kalau ia
selalu mendirikan 300 rakaat shalat malam. “Namun menjelang usia senja, ia hanya melakukan 150 rakaat,” tutur Abdullah bin Ahmad. Tak hanya itu, ia juga tetap konsisten membaca Qur’an, seminggu dua kali khatam. Ia dikenal dermawan dan ahli puasa. Malam-malamnya selalu diisi dengan sholat malam dan witir sampai waktu shubuh tiba. Ia juga mempersempit waktu tidurnya.
Rasulullah sudah mengingatkan, berkata benar walau pahit! Sementara Imam Ahmad sudah menyontohkan, beristiqomah pada kebenaran, walau nyawa sebagai taruhan. Akankah kita dapat menirunya dalam beristiqomah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar